Senin, 14 September 2020 | 17:35 Wita
Resiko Keputusan
■ Oleh : Syamril, Direktur Sekolah Athirah
HidayatullahMakassar.id — Setiap keputusan pasti ada resikonya. Ada yang resikonya tinggi. Ada juga yang rendah. Dalam bisnis ada ungkapan “high risk high return”. Maksudnya bisnis yang beresiko tinggi biasanya untungnya juga besar jika berhasil. Tentu saja kerugiannya juga besar jika gagal. Jika resikonya rendah maka untungnya juga kecil.
Demikian pula dalam urusan publik. Semua keputusan ada resikonya. Bisa tinggi atau rendah. Resiko juga terkait dengan waktu. Maksudnya dampak resiko itu muncul apakah lama atau cepat. Misalnya keputusan terkait kebijakan strategis di bidang pendidikan. Tentu dampaknya baru terasa setelah beberapa tahun karena pendidikan adalah proses membangun manusia.
Berbeda dengan keputusan yang teknis di bidang ekonomi. Biasanya dampaknya cepat terasa. Contohnya keputusan menaikkan harga BBM. Dalam waktu singkat pasti harga barang kebutuhan pokok akan naik. Inflasi juga naik.
Jadi dampak sebuah keputusan dan kebijakan bisa dipetakan minimal dalam 4 kategori. Ada yang besar dan cepat, besar dan lambat, kecil dan cepat serta kecil dan lambat. Kita menginginkan yang resikonya kecil dan lambat. Harus dihindari resiko yang besar baik cepat maupun lambat.
Jika terkait dengan keamanan dan keselamatan jiwa maka tentu masuk kategori resiko yang sangat besar. Salah keputusan maka resikonya kematian. Jika bisa menimbulkan kematian besar dalam waktu cepat maka itu adalah resiko yang sangat berbahaya.
Terkadang kita juga dihadapkan pada buah simalakama “dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati”. Pilihan tidak ada yang baik. Memilih yang terbaik dari yang buruk atau best of the worst. Kondisi seperti ini yang paling sulit. Perlu waktu berfikir dan berdiskusi sebelum mengambil keputusan.
Bagi seorang pemimpin jika dalam kondisi krisis maka sebuah keputusan harus diambil dengan cepat. Semakin lama berfikir sehingga keputusan lambat maka kondisi bisa semakin buruk. Untuk itu perlu kemampuan berfikir yang cepat secara smart (cerdas) agar keputusannya juga tepat.
Terkadang keputusan juga ada hubungan dengan keinginan publik. Pemimpin takut mengambil keputusan yang tidak populer karena khawatir citranya buruk di mata publik. Padahal bisa jadi keputusan tersebut baik. Cuma publik belum paham atau tidak mau paham karena alasan yang tidak objektif seperti like and dislike.
Keputusan atau tindakan juga terkait dengan pengalaman. Maksudnya kita bisa belajar dari dampak keputusan dan tindakan yang telah diambil sebelumnya. Pada sisi ini berlaku prinsip seperti ungkapan Albert Einstein yaitu “adalah sebuah kebodohan jika mengharapkan hasil yang berbeda dengan melakukan cara yang sama”.
Inilah yang dihadapi Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta saat ini terkait penanganan Covid-19. Buah simalakama antara kesehatan dan ekonomi. PSBB yang ketat akan mematikan ekonomi yang resikonya negara akan masuk ke jurang resesi. PSBB yang longgar akan terus menambah jumlah penderita Covid-19. Tujuh hari berturut-turut positif Covid-19 di Indonesia mencapai 3000 an kasus setiap hari di mana sepertiganya dari DKI Jakarta adalah fakta yang sangat mengerikan.
Pada akhirnya keamanan dan keselamatan jiwa harus jadi prioritas utama. Berlaku ungkapan “rakyat yang mati karena covid tidak bisa lagi dihidupkan dengan cara apapun. Ekonomi yang mati masih bisa bangkit kembali oleh manusia yang hidup”. Jika tindakan masih terus sama maka jangan harap ada hasil yang berbeda. Semoga PSBB yang diperketat dapat menurunkan jumlah korban wabah pandemi Covid. Mari kita tunggu.■
TERBARU
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita