Selasa, 16 Juni 2020 | 20:34 Wita

Pendidikan di Era Pandemi

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Syamril, Direktur Sekolah Islam Athirah

HidayatullahMakassar.id — Sejak pertengahan Maret 2020 kita telah menjalani proses pendidikan bukan tatap muka tapi tatap maya. Akan terus berlanjut sampai Desember 2020 khususnya pada daerah zona kuning, oranye dan merah. Makassar masih zona merah berarti masih tatap maya sampai Desember 2020.

Selama tiga bulan perjalanan pendidikan di era pandemi ada beberapa hal yang bisa jadi renungan. Ada empat aspek yang bisa direnungi yaitu hakikat pendidikan, peran guru dan orang tua, kurikulum dan bahan ajar serta ruang, waktu dan media pembelajaran.

Pertama tentang hakikat pendidikan. Selama ini tanggung jawab terbesar dari pendidikan ada pada sekolah dengan guru sebagai pelaku utama. Peran orang tua sangat kecil. Bahkan sekolah berasrama seperti pesantren, peran orang tua lebih kecil lagi karena selama 24 jam anak tinggal di asrama.

Kejadian pandemi di mana anak-anak harus belajar dari rumah membuat peran orang tua menjadi sangat besar. Orang tua harus berperan sebagai guru. Orang tua harus mengajari anaknya jika belum paham pelajaran yang tidak bisa dijelaskan dengan maksimal oleh guru secara online. Orang tua juga harus memonitor ibadah dan perilaku anaknya selama di rumah.

Ini menyadarkan kita bahwa hakikatnya tanggung jawab pendidikan anak ada pada orang tua. Allah berikan amanah anak pada orang tua. Sekolah dan masyarakat ‘membantu’ orang tua mendidik anak-anaknya. Kelak di akhirat yang akan ditanya tentang anak yaitu orang tuanya.

Kedua, yaitu relasi guru dan orang tua. Keterlibatan orang tua mengajari anaknya di rumah tetap dalam kendali guru sebagai ‘pemilik’ kurikulum. Hal ini membuat guru dan orang tua harus bersinergi positif. Selain itu juga tumbuh rasa saling empati. Orang tua dapat merasakan beratnya menjadi guru. Padahal hanya mengajar satu orang anak sendiri. Bagaimana dengan guru yang mengajar satu kelas yang jumlahnya bisa sampai 40 orang?

Terbangunnya rasa empati menumbuhkan rasa saling pengertian. Jika ada masalah dalam pendidikan anak maka guru dan orang tua akan mudah bekerja sama mencari akar masalah dan solusi terbaik. Tidak akan saling menyalahkan satu sama lain.

Ketiga, yaitu kurikulum dan bahan ajar. Keterbatasan dari pembelajaran tatap maya yaitu guru tidak bisa memberikan bimbingan dan pantauan personal secara maksimal. Hasilnya daya serap siswa terhadap pelajaran menjadi turun. Hal ini membuat sekolah harus melakukan modifikasi kurikulum, analisis materi esensial, penyesuaian paket bahan ajar. Bahkan harus menyusun ‘kurikulum darurat’ yang tidak membebani peserta didik dan orang tua.

Modifikasi juga dilakukan dengan memasukkan pendidikan karakter kerja sama dengan orang tua. Anak dapat ditugaskan untuk membantu orang tua di rumah mengerjakan tugas harian rumah tangga. Hal itu adalah bagian dari pendidikan karakter menyayangi dan membantu orang tua.

Keempat, yaitu ruang, waktu dan media pembelajaran. Masa pandemi menyadarkan kita bahwa belajar bisa dari mana saja dan kapan saja. Tidak harus di sekolah dan bisa secara virtual. Bahkan ujian dan wisuda juga virtual. Semua serba digital. Akan maksimal jika didukung oleh learning management system yang memadai berupa hardware, software dan jaringan internet.

Semoga pendidikan di masa pandemi dapat memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Ada hikmah di balik musibah. Pendidikan harus tetap berjalan dalam kondisi apapun. Jadikan tantangan dan keterbatasan sebagai pemicu dan pemacu kreativitas.■


Tags:

BACA JUGA