Selasa, 2 Juni 2020 | 12:52 Wita

Tahukah Anda, Imam Malik Makruhkan Puasa Syawal

Editor: Firman
Share

Oleh : Salehuddin Mattawang MThi, Pembina Pondok Pesantren An-Nuriyah Bontocini, Jeneponto

HidayatullahMakassar.id — Setelah melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan maka tibalah kita di bulan Syawal, bulan kesepuluh pada kalender Qamariyah setelah Ramadhan. Sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam tentang anjuran puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal. 

Sebagaimana hadits dari Ayyub al-Anshori,  Rasulullah SAW bersabda : 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164) 

Namun, ada yang mengatakan bahwa puasa Syawal itu makruh, Benarkah ? Iya, benar. Bahkan ternyata pendapat ini bukan sesuatu yang baru, justru pendapat ini sudah ada sekitar 13 abad lalu. 

Pendapat ini dipegang oleh mazhab Imam Malik di Madinah. Yang jelas tentunya berbeda dengan pendapat jumhur dari (al-Hanafiyah, al-Syafi’iyah, dan Hanabilah) yang memang mereka berpendapat bahwa puasa Syawal hukumnya Sunnah. 

Mengapa demikian? Mazhab Imam Malik berpendapat bahwa meskipun hadits dari Abu Ayyub al-Anshariy tergolong shahih, namun hadits ini menyelisihi ‘amal ahl Madinah (pekerjaan penduduk Madinah), selain itu jalur periwayatannya ada yang mengatakan ahad.

Namun setelah penulis meneliti ternyata ditemukan dari beberapa jalur periwayatan selain melalui riwayat Ayyub al-Anshori, juga ditemukan melalui riwayat Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, dari pelayan Rasulullah Tsauban dan beberapa perawi lainnya.  (lihat diantaranya, Musnad Ahmad bin Hanbal, 22/206).  

Bahkan Imam Malik mengatakan bahwa para ahli ilmu memakruhkan puasa 6 hari di bulan Syawal, khawatirnya itu adalah sebuah bid’ah dan juga dikhawatirkan kalau orang-orang awam menganggap itu bagian dari Ramadhan padahal sama sekali bukan. (al-Istidzkar 3/379). 

Namun Imam Nawawi beranggapan bahwa jangan serta-merta menghukumi puasa ini tidak sunnah hanya karena tidak dilakukan oleh orang-orang Madinah. (Syarhu al-Nawawi li-Muslim 8/56). Sungguh keliru juga, karena setelah Rasulullah wafat, Shahabat Nabi yang merupakan generasi mulia tidak semua menetap di Madinah.

Para shahabat ada juga yang melakukan perjalanan ke beberapa daerah untuk berdakwah. Dalam artian kebaikan itu bukan hanya milik Madinah saja, namun pula kota-kota lain yang di dalamnya ada shahabat pun termasuk mulia. Apakah itu karena ada shahabat Rasulullah ataukah pernah dikunjungi oleh beliau kemudian bisa mengalahkan sunnah? Pasti tidak. 

Siapapun berhak memilih pendapatnya selama masih ada dalil atau argumen yang dipakai menjadi sandaran. Yang mengatakan puasa Syawal sunnah silahkan puasa 6 hari di bulan Syawal. Begitu pula sebaliknya yang mengatakan makruh silahkan.

Namun jangan sampai merasa benar sendiri kemudian menyalahkan mereka yang berpuasa dan tentunya tidak memicu hal yang menimbulkan perdebatan yang tidak perlu. Wallahu ‘alam.■