Selasa, 2 Juni 2020 | 13:43 Wita

Islam dan Pancasila

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Ilham Kadir, Pimpinan Baznas Enrekang

HidayatullahMakassar.id — Tepat 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato dalam rapat pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang berlangsung sejak tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Dalam pidatonya Soekarno mengusulkan nama dasar negara Indonesia adalah ‘Pancasila’, sebuah nama yang menurut Soekarno diperoleh dari seorang teman yang ahli bahasa, tanpa menyebut siapa nama orang tersebut.

Sejatinya pidato Bung Karno yang mengusulkan agar segera dibuat dasar negara adalah berasal dari ide brillian ketua BPUPKI, Dr. KRT Radjiman Wiodiningrat yang mempertanyakan tentang dasar filososfi negara yang akan merdeka (Indonesia). Dan andai saja pertanyaan itu tidak ada, maka kita tidak tau apa dan bagaimana dasar negara kita saat ini.

Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno masa itu cukup berbeda dengan Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Perbedaan itu, terutama dalam hal susunan redaksi, sistematika , atau urutan sila-silanya. Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno adalah : 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme – atau Perikemanusiaan; 3. Mufakat – atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Di sinilah mulai muncul pergolakan antara pihak nasionalis-sekuler dengan kelompok islamis-religius. Kelompok pertama diwakili oleh Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin dan para pemimpin nasionalis lainnya, sedang kelompok kedua diwakili oleh tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti KH. Agussalim, KH. Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Sanoesi, dan Kahar Muzakkir. Kelompok pertama tidak lagi mempermasalahkan Pancasila ala Soekarno itu, namun tidak dengan kelompok kedua, dimotori oleh KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim mereka berusaha sekuat tenaga di tengah perdebatan hebat dengan kelompok nasionalis-sekuler, memasukkan nilai-nilai Islam dalam Pancasila. Setelah gagal memperjuangkan agar Islam sebagai dasar negara, maka jalan satu-satunya bagi Agus Salim dkk adalah mengemas Pancasila dengan kemasan yang bermuatan nilai-nilai islami.

Tanggal 22 Juni 1945, lahirlah Pancasila hasil kompromi dari dua kubu di atas yang masyhur dengan sebutan “Piagam Jakarta” berikut naskah aslinya : 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta ini hanya berum ur 57 hari sebab pada tanggal 18 Agustus 1945, atas nama persatuan bangsa Indonesia maka tujuh kata pada sila pertama “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” direduksi oleh Sang Proklamator, dan posisinya diganti dengan “Yang Maha Esa”. Dari proses pergantian tujuh kata menjadi tiga kata itu, kembali terjadi perseteruan di antara kedua kubu di atas, dalam hal ini Ki Bagus Hadikusumo pada awalnya tidak mau kompromi dengan Soekarno, maka lobi-lobi kembali terjadi. Saat itu Ayah dari Megawati Soekarno Putri ini mengutus Muhammad Hatta supaya menghadapi kelompok Islam-religius agar dapat menerima ‘pencoretan’ tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Bung Hatta meyakinkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah.

Menurut Prof. Kasman Singodimedjo, alasan Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan ‘Yang Maha Esa’, bukan sekedar ‘Ketuhanan’, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman, menegaskan. “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Kasman Singodimedjo,1982).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU, KH Achmad Siddiq dalam bukunya “Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila”, beliau menyatakan, “Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”

Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dalam, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”, mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis, “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, di samping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam. Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing”.

Dan pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 1983 memutuskan sebuah “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (As’ad Said Ali, 2009).

Dan jika kita membaca dan memperhatikan dengan saksama alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah…”, maka dengan jelas akan ditemukan penafsiran sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah bukti nyata bahwa Islam dan Pancasila telah dikawinkan oleh para founding fathers bangsa ini dan bertahan dengan sangat harmonis. Selamat Hari Lahir Pancasila!

Makassar, 1 Juni 2012.
Dr. Ilham Kadir, Alumni Beasiswa Baznas RI.



BACA JUGA