Jumat, 29 Mei 2020 | 07:17 Wita
Setelah Hari Kemenangan
■ Oleh: Aslam Katutu, Penulis Buku “Membangun Jalan Tol ke Surga
HidayatullahMakassar.id — Barusan kita merayakan hari kemenangan, hari Raya Idul Fitri 1441 H pada 24 Mei 2020. Sejarah perayaan Hari Raya Idul Fitri sebagai simbol kemenangan ummat Islam pertama kali dirayakan oleh umat Muslim pada tahun ke-2 Hijriah, ketika kaum muslimin meraih kemenangan perang skala besar untuk pertama kalinya pada peperangan yang terjadi pada 17 Ramadhan, Perang Badar.
Perang Badar ini terjadi karena aksi monopoli pasar dan blokade aktivitas dagang oleh kaum Quraisy Mekkah terhadap muslim Madinah.
Walaupun Jumlah kaum Muslim yang dipimpin oleh Rasulullah hanya sepertiga dari Pasukan yang dipimpin oleh Abu Jahal sekitar 1.000 tentara lengkap dengan peralatan perang, atas izin Allah kaum muslimin berhasil meraih kemenangan yang menakjubkan. Dan Kemenangan memiliki makna yang sangat besar bagi kaum muslimin yang selama ini sering menjadi sasaran cemohan berbalik mendapat kepercayaan diri dan kehormatan dari berbagai kalangan.
Apa makna kemenangan pada perayaan Idul Fitri yang setiap tahun kita rayakan? Ada dua makna kemenangan. Pertama, yakni pencapaian ritual puasa Ramadhan setelah berjuang menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Kedua, yakni keberhasilan dalam Perang Badar. Dua makna berarti memiliki dua perspektif, yaitu kemenangan spiritual dan kemenangan sosial.
Bagaimana dengan makna kemenangan di Hari Raya Idul Fitri 1441 H ini yang patut kita ambil hikmahnya? Terutama kaitannya dengan Pandemi Covid 19 . Apakah kita juga telah meraih kemenangan spiritual dan kemenangan sosial?
Di tengah kondisi yang ditakdirkan Allah ta’ala dengan hadirnya Pandemi Covid 19 bisa dianggap kita tengah berada dalam kondisi perang Badar yang berbeda. Perang melawan makhluk kecil tak kasat mata yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita tanpa kompromi dan tidak bisa diajak berdamai dengan fakta makin banyaknya terpapar dan angka kematian yang meningkat terus sampai saat ini.
Pandemi Covid 19 merupakan perang Badar yang meminta kita banyak mawas diri dengan ilmu dan iman. Kalau pada perang Badar 17 Ramadhan 2 H yang lalu, pasukan Abu Jahal 1.000 orang wujudnya nyata, bisa dihadapi dengan pedang.
Namun Covid 19 adalah serdadu yang harus dihadapi dengan merubah perilaku dan gaya hidup normal menjadi abnormal , dia ada dimana-mana dan sangat cepat menyebar memaksa setiap orang untuk me-Lockdown diri, terpaksa stay at home, sulit melakukan aktivitas pekerjaan, bahkan beberapa usaha dan bisnis terpaksa ikut rontok.
Ramadhan barusan saja kita lewati walaupun dengan suasana yang sangat berbeda; tak ada shalat taraweh berjamaah, senyap dari suara patrol membangunkan sahur, Pusat-pusat perbelanjaan tidak seramai tahun sebelumnya, Sholat Ied di masjid atau lapangan terbuka sangat terbatas, sepinya kerabat dan tetangga yang datang silaturahmi di saat Hari Raya. Benar-benar sangat berbeda.
Kemenangan spritual tentulah telah berhasil kita raih bagi yang bersungguh-sungguh memaksimalkan ibadahnya dalam bulan suci. Tetapi kemenangan spiritual yang diraih tidak membuat sekaligus meraih kemenangan sosial, utamanya dalam perang melawan pandemi Covid 19. Walaupun sejatinya dua peperangan yang kita hadapi ada persamaan dalam menyikapinya, yaitu keduanya terletak pada pengendalian diri atau hawa nafsu.
Hal ini mengingatkan kita pada sejarah euphoria kemenangan pada perang Uhud.
Perang Uhud terjadi setelah suatu perang yang umat muslim mengalami kemenangan besar, yaitu Perang Badar. Dalam perang sebelumnya itu, Kaum Qurais mengalami kekalahan telak karena jumlah mereka kurang lebih 1000 orang sedangkan yang dilawan hanya sepertiganya, maka Perang Uhud ini adalah ajang pembalasannya.
Perang Uhud yang awalnya mulai dimenangkan oleh kaum muslim karena posisinya pasukan muslim sangat strategis di atas bukit Uhud. Sehingga Nabi memesan agar para pemanah yang diposisikan di atas bukit tidak meninggalkan posnya apapun kondisinya, menang atau kalah. Tujuannya agar pasukan musuh tidak mengambil alih lokasi strategis tersebut.
Dari sinilah kekalahan umat muslim bermula, awalnya pertempuran yang sudah berjalan baik dimana pasukan Qurais dapat dipukul mundur oleh pasukan pemanah muslim dari atas bukit. Pasukan Qurais banyak yang berjatuhan dan berhasil dipukul mundur dengan meninggalkan tunggangan serta barang bawaan mereka.
Kondisi ini membuat pasukan Muslim telah merasa meraih kemenangan mutlak dan tergiur dengan harta rampasan perang lalu meninggalkan posisi strategisnya. Akhirnya pasukan Muslim mengalami kekalahan.
Apa hikmah yang bisa kita ambil ? adalah euphoria atas kemenangan yang sebetulnya belum mutlak diraih bisa membuat lengah menyikapi kondisi sehingga tak mampu menghadapi serangan balik musuh.
Mengambil pelajaran dari kisah ini, patutlah kita khawatir kalau kemenangan yang belum tercapai atas perang melawan pandemic Covid 19 saat ini, saat PSBB yang belum memperlihatkan hasil nyata, lockdown yang separuh hati bahkan separuh jiwa, termasuk masa Ramadhan yang barusan saja kita lewati janganlah serta merta membuat kita lengah.
Nafsu bersosialisasi dan ingin melakukan aktivitas normal kembali bergejolak lagi, PSBB dilonggarkan, memaksa diri untuk “Hidup damai dengan Corona” (yang sebetulnya covid 19 sendiri tidak akan pernah mau berdamai dengan kita), sampai akhirnya kita diminta menjalani kehidupan baru dengan “New Normal” di tengah-tengah kondisi masih abnormal.
Saya sangat khawatir.■
TERBARU
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita