Rabu, 27 Mei 2020 | 04:50 Wita

Pesan Syawal dari New York

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Imam Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Ramadan telah berlalu. Tentu bagi seorang Mukmin, berlalunya Ramadan seolah sebuah peluang besar untuk berbagai keuntungan telah berlalu. Momentum besar itu berakhir.

Di saat-saat seperti inilah seorang “qayyis” (berakal dan bijak) tentu akan melakukan pengecekan kembali (introspeksi) akan hari-hari yang berlalu itu. Sudahkah maksimal? Atau hari-hari itu berlalu tanpa makna yang maksimal dan positif?

Setiap insan Mukmin sejatinya memang selalu berada di antara dua lembah itu (al-khauf wa ar-rajaa). Lembah kekhawatiran, jangan-jangan Ramadan itu berlalu tanpa makna maksimal atau mungkin merugi? Dan lembah harapan, semoga Ramadan itu telah berlalu dan membawa makna-makna berharga dan maksimal baginya.

Tak dipungkiri bahwa bulan Ramadan adalah bulan penuh makna dan nilai (values). Bulan yang dirindukan setiap insan Mukmin untuk mengakumulasi berbagai kebaikan dan bekal hidup. Baik bekal hidup kesementaraan (fana), apalagi bekal (zaad) bagi kehidupan masa depannya yang abadi.

Bulan puasa adalah bulan ubudiyah dengan segala manifestasinya. Bulan puasa, bulan qiyaam, bulan dzikrullah, bulan maghfirah, bulan ihsan, bukan al-qurbah, bulan hidayah dan Al-Quran, bulan kebajikan dan sadaqah, bahkan bulan kebersamaan dan komunitas.

Dan tentunya kalimat jaami’ atau kata yang merangkum dari semua itu adalah bulan rahmah dan Jannah. Dan itulah impian tertinggi dari setiap Mukmin dalam menjalani hari-hari pengabdiannya kepada Yang Maha menguasai langit dan bumi dan semua yang ada di antara keduanya.

Bulan Transformasi

Dari semua makna-makna (wisdoms) dan nilai-nilai (values) yang seharusnya menjadi perhatian setiap insan Mukmin dalam berinteraksi dengan bulan Ramadan yang mulia itu, dengan janji kebaikan-kebaikan yang dahsyat, ada lagi hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk menjadi perhatiannya.

Hal yang dimaksud adalah bahwa bulan Ramadan sesungguhnya adalah bulan “tarbiyah”. Bulan di mana setiap insan Mukmin melakukan pelatihan diri, atau tepatnya mendidik diri untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Proses ini yang saya istilahkan sebagai “transformasi” hidup di bulan Ramadan.

Proses demi proses atau transformasi hidup seorang Mukmin menuju kepada kesempuranaan Islam adalah proses yang berkelanjutan hingga akhir hayatnya. Merujuk kepada firmanNya: “wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dengan takwa yang sesungguhnya. Dan janganlah mati kecuali kamu dalam keadaan Muslim”.

Proses yang berkesinambungan (sustainable process) ini pulalah yang kita istilahkan dengan “transformasi” atau perubahan mendasar hidup manusia menuju kepada kesempurnaannya.

Secara singkat, bulan Ramadan seharusnya membawa kepada tiga transformasi mendasar dalam hidup insan Mukmin.

Pertama, transformasi mentalitas. Bahwa selama bulan Ramadan insan-insan Mukmin telah melakukan penataan batin, yang tentunya memberikan dampak positif pada suasan kejiwaan pelaku puasa Ramadan.

Hal itu tentunya tidak terlepas dari realita bahwa puasa adalah ibadah yang sangat personal sifatnya antara seorang hamba dan Rabbnya. Tabiat ibadah yang sangat pribadi ini dengan sendirinya akan membangun “al-Qurbah” (kedekatan) yang terbangun dalam suasan “al-ihsan” (seolah melihat Allah atau memiliki keyakinan dilihat oleh Allah). Dan pada akhirnya akan melahirkan situasi mentalitas yang merasakan “ma’iyatullah” atau merasa dibersamai oleh Allah SWT.

Keyakinan dengan kebersamaan (al-ma’iyah) Allah inilah yang kemudian melahirkan mentalitas baja pada seorang Mukmin. Dalam hidupnya dia tidak akan mudah goyah atau goncang karena ragam perubahan yang terjadi. Karena dengan keyakinan tadi dia memiliki pegangan yang solid yang takkan goyah. Itulah yang disebut “al-‘Urwatul Wutsqo” (lihat Al-Baqarah:256).

Mental yang solid inilah yang akan menjadikan seorang Mukmin dalam menghadapi setiap warna hidup dengan kestabilan. Ketika hidup berpihak, kaya, kuat, terhormat, terkenal, dan seterusnya dia akan semakin bersyukur dan rendah hati.

Sebaliknya ketika hidup kurang berpihak, miskin, lemah bahkan dilemahkan, dan ragam penderitaan hidup, dia akan tetap tabah dan kuat, menjaga harga diri, serta tetap penuh harap dan optimisme.

Ringkasnya Ramadan harus mentransformasi hati kita dan keadaan kejiwaan (mental state) kita menjadi hati yang bersih dengan mental yang solid. Hanya dengan hati yang bersih dan mental baja kita akan mampu melanjutkan langkah-langkah Perjalanan di lorong-lorong kehidupan yang penuh duri itu.

Kedua, transformasi karakter. Bahwa puasa Ramadan harusnya telah mentransformasi karakter atau prilaku kemanusiaan kita ke arah yang lebih baik. Karakter yang baik inilah yang dikenal dalam agama dengan aklaqul karimah (prilaku yang mulia).

Sejujurnya jika saja semua aspek agama ini diperas maka yang akan keluar sebagai santannya (intisari) adalah akhlak karimah itu. Itulah barangkali Yang ingin disampaikan dalam pesan kenabian: “innama buitstu liutammima makaarimal akhlaaq”. (Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).

Karenanya semua ibadah dalam Islam, dari sholat, Zakat, puasa dan Haji, semuanya memiliki pesan-pesan moral (moral messages) untuk membangun karakter mulia manusia.

Sholat misalnya kita kenal dengan mencegah dari kekejian dan kemungkaran.

Zakat membangun rasa solidaritas dan tanggung jawab sosial. Membersihkan hati dari kekikiran dan ketamakan duniawi.

Haji membangun kesadaran global, bahwa manusia sejatinya memiliki kekeluargaan yang satu (one family). Yaitu human family (kekeluaragaan manusia).

Di bulan Ramadan inilah kita diingatkan bahwa “barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk maka tiada hajat bagi Allah untuk dia tinggalkan makan dan minumnya”.

Atau dalam pesan lain Rasulullah mengatakan: “boleh jadi ada orang yang berpuasa tapi yang didapatkan tiada lain hanya lapar dan dahaga saja”.

Akhlak manusia mendapatkan perhatian besar Islam. Sehingga amalan-amalan ritual manusia yang gagal membangun karakter kemanusiaannya akan membawa kebangkrutan baginya di Akhirat kelak (lihat hadits al-muflis).

Di sinilah kemudian kita perlu ingat bahwa harusnya puasa Ramadan kita menjadi masa di mana kita merajut (mentransform) kembali prilaku kita menjadi prilaku yang lebih baik dan mulia. Dengan itu berarti puasa Ramadan kita telah maksimal dan efektif.

Ketiga, transformasi prilaku sosial. Bahwa bulan Ramadan harusnya juga mampu membawa perubahan mendasar dalam prilaku sosial kita. Prilaku sosial ini yang biasa disebut budaya atau kultur.

Dengan demikian ibadah puasa selama Ramadan tidak saja melahirkan manusia yang baik secara pribadi-pribadi. Tapi seharusnya melahirkan bentuk budaya positif dalam mansyarakat.

Sejujurnya prilaku sosial atau budaya ke masyarakatan itu menjadi salah satu pilar keislaman kita secara komunal (masyarakat/jamaah). Prilaku baik secara jamaah atau komunal kita itulah sesungguhnya dikenal dengan konsep “al-ma’ruf” dalam agama ini.

Nilai kebaikan dalam Islam itu memiliki tingkatan atau bagian. Kebaikan pada tataran fisik dan material disebut “thoyyib”. Misalnya Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk makanan tidak saja halal, tapi juga “thoyyib”. Ini berarti makanan itu harus secara fisik sehat, baik dan manfaat.

Jika nilai kebaikan itu mencakup fisik dan batin (ruh/spiritualitas) maka itu disebut “Khaer”. Tapi Khaer ini masih sebatas tingkatan pribadi. Seseorang yang melakukan kebaikan dan baik pada dirinya disebut “khaer”.

Jika kebaikan fisik maupun batin itu tertransformasi ke dalam prilaku kolektif masyarakat (social behaviors) maka itulah yang disebut “al-ma’ruf”.

Makanya Umat ini dikenal Umat terbaik karena akan selalu memiliki komitmen untuk baik tidak saja pada tataran individu. Tapi juga pada tatanan kolektifnya. “Kuntum khaera ummatin ukhrijat linnaas”. Kamu adalah Umat terbaik yang dihadirkan untuk manusia.

Satu di antara dasar khaeriyah Ummah atau alasan umat ini menjadi terbaik karena “ta’muruuna bil-ma’ruf” atau menyeru kepada al-ma’ruf. Yaitu nilai-nilai Kebaikan sosial Yang terwujud dalam prilaku budaya keumatan.

Sejujurnya pada tataran inilah banyak umat atau bangsa di dunia yang ambil dari kehebatan agama ini. Maka jangan heran jika ada bangsa non Muslim (non Muslim society) yang kebih Islami. Karena pada tataran ma’ruf atau budaya baik secara sosial mereka telah lakukan.

Maka seharusnya selama Ramadan itu telah terjadi transformasi karakter atau prilaku sosial ini akan tumbuh menjadi budaya positif dalam masyarakat. Masyarakat akan semakin bertanggung jawab, teratur dan disiplin. Dengan sendirinya akan tumbuh kesadaran untuk bersikap secara baik dan penuh tanggung jawab.

Reborn atau terlahir kembali

Dengan terwujudnya transformasi mental, akhlak dan budaya sosial kehidupan Mukmin pasca Ramadan berarti puasa Ramadan itu telah berhasil secara maksimal. Karena dengan transformasi itu pula yang akan membawa nilai kebaikan-kebaikan lainnnya.

Pahala yang dijanjikan, ampunan Tuhan, bahkan rahmah dan syurga itu semua terikat oleh apakah terjadi transfomasi tadi atau tidak. Jika tidak maka puasa boleh jadi sah secara hukum fiqhi. Tapi puasa itu tidak memiliki nilai yang bermakna.

Keberhasilan transformasi Ramadan itu yang menjadikan seorang Mukmin di akhir Ramadan dengan: “bagaikan terlahir kembali dari rahim” (hadits).

Manusia-manusia yang “reborn” atau seolah terlahir kembali itu yang kemudian diekspresikan dalam bahasa Al-Quran: tsumma ansya’ba min ba’dihin qarnan aakhariiin”. Dalam ayat lain memakai kata jama’ (plural): “quruunan aakhariin”.

Kedua ayat di atas bermakna: “demikian Kami setelah itu melahirkan atau menciptakan generasi baru”.

Maka bersamaan dengan musibah Covid 19 ini, dengan konsep New Normal Society” Umat ini harusnya tertransformasi menjadi manusia yang lebih baik. Baik pada sikap mental, pada tatanan kepribadian, dan juga pada prilaku budaya sosialnya.

Inilah yang diistilahkan pada ayat tadi sebagai “qarna aakhariin” atau generasi baru. Bukan tentunya secara fisik dalam arti literal. Tapi lebih kepada terlahirnya kemanusiaan baru. Manusia dengan fitrah yang sejati.

Tapi bagi kita, harusnya new normal society atau generasi baru itu terjadi bukan karena Corona atau Covid. Tapi karena transformasi yang terjadi selama Ramadan tahun ini. Semoga!

Eid Mubarak! Taqabbala Allahu minna wa minkum. Maaf lahir dan batin!■

Epicentrum Corona City, 23 Mei 2020, Presiden Nusantara Foudation
Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani

Teman-teman, terus bantu wujudkan pesantren di US. Dukungan dapat disalurkan melalui: http://kitabisa.com/nusantarafoundation

Atau melalui Rekening pembangunan pesantren Amerika. BNI Syariah: 887000045 Bank Mandiri: 1240000018185 Bank Syariah Mandiri: 7774454459 A.n: Yayasan Inka Nusantara Madani



BACA JUGA