Selasa, 19 Mei 2020 | 08:34 Wita

Problematika Fidyah

Editor: Firman
Share

Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA., Peneliti MIUMI/ Pimpinan BAZNAS Enrekang

HidayatullahMakassar.id — Ditilik dari sudut bahasa fidyah berarti ‘tebusan’ dalam sisi istilah fidyah berarti memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari hari-hari yang dilalui di Bulan Ramadhan tanpa puasa karena tidak mampu dan sakit.

Kata fidyah dalam Al-Qur’an terdapat empat kali, secara khusus menegaskan pengertian dari sisi istilah di atas ada pada Surah Al-Baqarah ayat ke-184 “Dan bagi mereka yang berat untuk berpuasa wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin”. Tiga ayat lainnya, Surah Al-Baqarah:196, Surah An-Nisa’:96, dan Surah Al-Hadid:15 adalah fidyah dalam pengertian bahasa.

Dalam tulisan ini, ada beberapa poin terkait fidyah yang akan diperjelas:

Siapa saja yang boleh berfidyah? Orang muslim yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi atau kesempatannya untuk sembuh dalam tahun itu sangat tipis. Atau orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa, dua golongan ini yang paling memungkinkan menebus ketidaksanggupannya berpuasa dengan fidyah.

Selain iu, masuk juga wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika puasa mengkhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya bermasalah jika ia berpuasa. Namun, jika tidak mengganggu kandungan bagi ibu hamil jika berpuasa, maka itu lebih baik, demikian pula jika seorang ibu menyusui tapi mampu berpuasa maka lebih baik berpuasa.

Namun jika tidak mampu berpuasa maka mereka wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ (mengganti) puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak perlu membayar fidyah tetapi cukup mengqadha’.

Adapun dalilnya bersumber dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya seputar wanita hamil yang cemas terhadap anaknya [jika puasa]. Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (Hadis Riwayat Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafii dan sanadnya sahih).

Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang, mereka wajib mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama.

Ada pun orang sakit di rumah sakit atau di rumah, tetapi masih berpotensi untuk sembuh maka cukup menunggu waktu hingga ia sembun total lalu mengganti puasanya tanpa harus berfidyah, dan kalau ia berfidyah lalu kelak sembuh maka kewajiban untuk mengganti puasa tidak gugur.

Dalam fatwa Lajnah Daimah dusebutkan, “Kapan saja dokter memutuskan bahwa penyakit yang diderita seseorang yang karenanya tidak berpuasa tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin sejumlah setengah sha’ dari makanan pokok suatu negeri seperti kurma atau yang lainnya, jika telah memberi makan seorang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan maka itu telah mencukupi”.

Berapa kadar fidyah yang harus dibayar? Di antara ulama seperti Imam As-Syafi’I, Imam Malik dan Imam An-Nawawi menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Rasulullah. Maksudnya mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan seperti orang berdoa.

Mud adalah istilah yang menunjuk ukuran volume, bukan ukuran berat. Dalam kitab “Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu” karya Wahbah Az-Zuhaily, disebutkan bila diukur dengan ukuran zaman sekarang, satu mud setara dengan 675 gram atau 0,688 liter.

Sebagian ulama yang lain seperti Abu Hanifah berpendapat seperdua sha’ atau dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah atau setara dengan setengah sha‘ kurma atau tepung. Setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang satu orang miskin. Sebagian ulama yang kira-kira seperdua sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok.

Pendapat lain mengatakan bahwa fidyah yang harus dibayar sebesar satu sha’ Ini adalah pendapat dari kalangan Hanafiyah, seperti Imam Al-Kasani dalam Bada’i’i wa As-Shana’i’. Satu sha’ itu setara dengan empat mud, sama dengan jumlah zakat fitrah yang dibayarkan. Bila ditimbang, satu sha‘ itu beratnya 2.176 gram. Bila diukur volumenya, satu sha‘ setara dengan 3,5 liter beras.

Pendapat paling otentik dan layak dijadikan rujukan adalah yang ditetapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) baik di pusat maupun di masing-masing daerah. Sebab harga makanan dari satu daerah dengan lainnya di Inonesia berbeda. Baznas RI menetapkan bahwa kadar fidyah tahun 1441 Hijriah/2020 Masehi di Indonesia secara umum jika dinilai dari harganya Rp. 45.000/hari. Namun Baznas daerah boleh saja berbeda, misalnya Baznas Kabupaten Enrekang menetapkan besaran fidyah tahun ini Rp. 30.000/hari, lebih murah dari ketetapan Pusat.

Harus dipahami bahwa fidyah beda dengan zakat fitrah, fidyah seharusnya dilihat dari makanan yang layak konsumsi untuk sehari bagi satu orang miskin, artinya makanan siap saji yang lengkap dengan lauk pauknya. Dan setiap orang, termasuk yang miskin minimal makan dua kali sehari, jika dua kali makan dengan harga satu porsi Rp. 15.000 maka sehari ia memerlukan Rp 30.000.

Kesalahan selama ini, karena banyak yang berfidyah hanya mengantar setengah liter beras ke amil di masjid atau langsung ke fakir miskin. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa yang dihitung adalah makanan orang yang tidak berpuasa, kalau sehari orang sakit tersebut hanya bisa minum dan makan tiga sendok bubur maka sejumlah itu yang difidyahkan, atau berpendapat bahwa orang kaya yang sakit bisa menghabiskan jutaan rupiah makanannya perhari, pendapat ini jelas keliru dan tertolak.

Kapan waktunya membayar fidyah? Sebenarnya pembayaran fidyah dilakukan setiap hari dimana pada hari itu ia tidak berpuasa. Atau diakumulasi hingga akhir bulan lalu dihitung berapa jumlah hari dalam Bulan Ramadhan itu ia tidak mampu berpuasa. Tidak boleh berfidyah sebelum masuk Bulan Puasa, atau berfidyah diawal atau pertengahan Bulan Ramadhan dengan mengakumulasi sebulan penuh, walau orang tersebut sakit dan udzur, sebab kita tidak bisa menentukan umur. Bisa saja yang bersangkutan tutup usia dua hari jelang Bulan Puasa tutup.

Riwayat Shahabat Nabi yang dijadikan rujukan tentang fidyah adalah cara Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, yaitu ketika dirinya sudah tak sanggup puasa, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin. Lalu, beliau kenyangkan mereka semua, (Hadis Riwayat Ad-Daruquthni, dinilai sahih oleh Al-Albani). Hal ini ia lakukan di akhir Bulan Ramadhan. Namun, fidyah beda dengan zakat fitrah, sebab jika khatib Idul Fitri sudah naik mimbar maka tidak sah lagi membayar zakat fitrah. Untuk fidyah boleh dibayar setelah Ramadhan selesai.

Dibayar kemana? Jika merujuk riwayat Anas bin Malik di atas, maka dahulu kala, pembayaran fidyah bisa langsung ke fakir miskin. Boleh diberi makan setiap hari jelang buka pada hari dimana yang bersangkutan tidak puasa atau diakumulasi sejumlah hari dengan jumlah orang miskin. Tapi kini, cara itu sudah kurang tepat, sebaiknya dana fidyah disetor ke lembaga pengelola zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya, seperti Baznas.

Dalam mengimput dan melaporkan fidyah, ia masuk dalam kategori “dana sosial keagamaan lainnya”. Lembaga zakat resmi memiliki data base golongan fakir miskin dengan melihat skala prioritasnya, mendahulukan mereka yang benar-benar butuh uluran tangan. Dengan demikian maka dana fidyah disalurkan dengan optimal dan akuntabel. Wallahu A’lam!

Batili-Enrekang, 24 Ramadhan 1441H/17 Mei 2020M.



BACA JUGA