Sabtu, 16 Mei 2020 | 07:46 Wita
Iman sebagai Pondasi Perjuangan Dakwah dan Tarbiyah
■ Oleh : Sumaryadi, SPd, Sekretaris DPW Hidayatullah Sulawesi Selatan
HidayatullahMakassar.id — Ada sebuah bingkai besar perjuangan tarbiyah dan dakwah yang Allah ta’ala firmankan
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Barang siapa yang melaksanakan kesholehan (apapun bentuknya) apakah dia laki-laki atau perempuan oleh karena dia beriman maka Allah akan mengkaruniakan hidup yang lapang, bahagia, tidak dipenuhi kesusahan di dunia dan kami akan mengaruniakan balasan yang lebih baik dari apa yang pernah dilakukannya di dunia.
Maka untuk kita mendapatkan keutamaan tidak sekadar menunaikan amalan shaleh, karena amal yang diterima sebagai amalan shaleh kalau kita beriman. Landasan dan pondasinya iman.
Misalnya semua dalil terkait amal Ramadhan selalu berlandaskan iman. Misalnya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah/2:183]
Sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa tidak ada pilihan bagi kita kecuali harus beriman, yang mengiringi semua amal shaleh. Agar meraih keutamaan yang dijanjikan.
Salah satu janji Allah ta’ala pada an Nur: 55
? وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Bahwa Allah ta’ala menjamin pada diri dari seorang yang berimam maka akan berikan kekuasaan baginya.
Karena fatal memang jika kita tak beriman. Allah ta’ala mengancam
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ketika amalan dilaporkan maka apa yang terjadi dengan orang beramal tanpa iman maka habis seperti debu yang habis diterbangkan angin.
Dalam ayat yang lain Allah gambarkan amalan orang kafir yang tak didasari iman, kata Allah itu bukan amal. Artinya orang kafir juga punya banyak amal, tapi seperti fatamorgana, tidak dianggap. Sebagaimana dalam surah An-Nuur ayat 39 – 40
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nuur: 39-40)
Maka pertanyaan besarnya dan ini juga fokus kajian Hidayatullah dalam sistematika wahyu “Apa setelah beriman?. Bagaimana melahirkan dan menghantarkan agar orang beriman.
Soal keimanan telah dikaji sedemikian rupa namun kenyataan banyak orang tak beriman. Berarti ada masalah yakni pada proses. Sehingga lahirlah ijtihad konsep yang mengantar manusia unggul karena iman dan berjamaah.
Proses seperti apa yang kita harus lakukan untuk melahirkan manusia seperti para shahabat Rasulullah misalnya. Satu hal yang mendasar adalah membentuk paradigma atau mindset.
Karena ummat Islam hari ini semangat belajarnya tinggi. Apalagi di era digital saat ini makin mudah belajar dan memperoleh ilmu namun tidak diiringi dengan semangat belajar berislam. Contoh belajar poligami beda belajar berpoligami.
Maka inil yang menjadi tema kampanye pendiri Hidayatullah. Sebab Islam hanya ada di majelis dan kajian. Tapi di pasar-pasar dan tempat bekerja dan sendi kehidupan tidak ada Islam do sana. Ini fakta yang mengerikan.
Ilmu Islam kita sudah memadai tapi belum berislam. Lalu bagimana tawaran belajar berIslam bisa dipertahankan lalu menjadi kultur, maka harus ada rekayasa atau proses pembentukan salah satunya dengan spirit Al Alaq.
Al alaq sebagai surah pertama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah yang mengungkapkan bahwa merepresentasikan tauhid dan aqidah sebagai pondasi dari segala bentuk aktivitas.
Maka untuk melahirkan manusia yang punya pondasi tauhid yang kuat yakni dengan rekayasa. Karena belajar tauhid bisa kita pahami 3 jenis tauhid tapi bukan berarti sudah bertauhid sebagaimana para shahabat bertauhid.
Seperti halnya rekayasa keyatiman. Yatim biologis dari Rasulullah dan yatim sosial dari Nabi Ismail. Ibrahim merekayasa Ismail menjadi yatim sebagai proses dan persiapan menjadi manusia berkualitas imannya.■
*) Catatan on the spot hidayatullahmakassar.id dari Kajian dan dialog subuh Semarak Ramadhan Yayasan Al Bayan Hidayatullah, Makassar.
TERBARU
-
Difasilitasi BI Green House, Santri Putri Al Bayan Kembangkan Minat Berkebun
23/01/2025 | 18:25 Wita
-
Alhamdulillah.. Ketua STAI Al Bayan Tuntaskan Studi Doktoral
23/01/2025 | 06:46 Wita
-
Tausyiah Raker : “Kalau tak memiliki tak mungkin memberi.”
15/01/2025 | 17:20 Wita