Jumat, 15 Mei 2020 | 14:18 Wita

Perubahan

Editor: Firman
Share

Belajar Bijak : Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin Makassar

HidayatullahMakassar.id — “New Normal,” sebuah istilah yang semakin akrab di telinga kita saat ini. Setelah beberapa lama kita berhadapan dengan pandemi, kita semakin terbiasa dengan kehidupan baru yang dulunya dianggap aneh, tetapi secara perlahan dianggap normal.

Seorang pendidik atau akademisi secara perlahan mulai menganggap normal mengajar di depan laptopnya, seperti layaknya mengajar di kelas secara langsung, berpakaian rapi, kadang berdiri, dan secara perlahan menerima sebagai realitas sosial pendidikan.

Kemarin saya ikut sidang promosi Doktor mahasiswa asing  di PT saya secara virtual dengan memakai jas lengkap tapi saat selesai baru saya tersadar kalau bawahannya masih pakai sarung. Mungkin gaya berbusana seperti ini akan menjadi biasa secara perlahan.

Seorang ustad berproses untuk terbiasa menyampaikan pesan dakwah secara virtual, yang dulunya kelucuannya disambut oleh gelak tawa hadirin, sekarang kelucuannya disambut dengan lemparan senyum keheningan. Seorang “paggandeng” (penjual ikan atau sayuran keliling dengan naik sepeda) secara perlahan menerima bahwa jualannya melalui daftar pesanan langganan yang dikirim di hpnya lalu mengantarkannya dengan mengandalkan kepercayaan untuk mempertahankan konsumen.

Amaliah Ramadan berproses dalam situasi baru; tarawih berjamaah di rumah, baju lebaran menjadi baju rumahan, menyimak  dakwah secara virtual, dan bersiap memasuki konsep lebaran khas; shalat ied di rumah, membikin menu makanan untuk keluarga sendiri, tanpa ziarah dengan variasi kue-kue kering. Bisa menyiasatinya dengan mengirim makanan ke tetangga, karib, atau sahabat yang tentunya lebih baik daripada sekadar memposting gambarnya.

Apa yang bisa ditarik dari perubahan prilaku dalam menyikapi wabah? Kemampuan adaptasi yang sangat menakjubkan. Manusia secara alam bawah sadar sudah menjalankan pameo, “berubah atau musnah.” Yang ingin saya katakan, tidak ada “new normal” atau “old normal”, yang ada “simply normal”.

Betul kita menghadapi pandemi ini sebagai sesuatu yang baru, tapi kebaruan itu adalah hukum kehidupan. Tidak ada udara sama yang kita hirup. Tidak ada waktu yang akan berulang. Tidak ada tanah sama yang kita injak. Semua pasti baharu. Kebaharuan itu adalah kenormalan.

Perbedaannya hanya karena covid ini adalah kebaharuan yang menyiksa, mengancam kehidupan, itulah mengapa disebut sebagai bencana. Apapun adanya, perubahan itu harus terjadi karena dari sanalah kehidupan ini terformat ulang menuju keseimbangan. Anda tahu naik sepeda? Kalau anda bergerak dan terus mengayuh, keseimbangan-pun terjadi.■



BACA JUGA