Jumat, 15 Mei 2020 | 14:11 Wita
Perhitungan
■ Belajar Bijak : Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin Makassar
HidayatullahMakassar.id — “Hidup memang harus berhitung, namun jangan terus menghitung, nanti kamu lupa berbagi.” Itulah pesan dari seorang bijak yang bisa menohok nurani. Berhitung itu sering juga disebut dengan kalkulasi. Sering kita mendengar kalau seseorang punya kalkulasi matang sebelum memutuskan untuk melangkah.
Untuk sukses merengkuh obsesi, membutuhkan perhitungan yang baik; memahami kekuatan, mengerti kelemahan, melihat peluang dan sadar akan tantangan. Tidak ada pelaku bisnis yang sukses tanpa perhitungan yang tepat. Tidak ada praktisi politik yang berhasil tanpa kalkulasi yang jitu. Jejak kreadibilitas seorang pemimpin publik bisa terbaca dari kemampuannya menghitung arena kepemimpinannya.
Itulah hidup, selalu terpaut dengan perhitungan atau kuantifikasi: umur anda berapa? Berapa rumahnya? Seberapa sering berlibur? Berapa kali umrah? Sudah berapa kali tamat bacaan Qur’annya? Sisi dunia dan akhirat kehidupan selalu dikitari oleh perhitungan. Bahkan kunci keselamatan di hari kemudian dari hasil perhitungan (hisab).
Orang yang pintar menghitung itulah yang mampu memelihara optimisme hidupnya.
Namun banyak orang dalam hidup ini hanya takjub pada hitungan penambahan, pekerjaanya menghitung terus, menghitung apa yang bukan miliknya dan menghitung yang sudah bukan haknya. Bahkan ketika muncul keinginan untuk memberi, dia terjebak dengan hitungan untung rugi.
Dia lupa bahwa ada pelajaran lain yang lebih menakjubkan, hitungan pembagian. Dia lupa bahwa berbagi itu bisa menambah hitungan baru untuk dirinya, karena dia tidak sadar betapa berbagi itu memiliki hukum pantulan, seperti melempar bola ke tembok, dan bola itu terpantul kembali pada dirinya.
Masih ingat cerita guru dan murid tentang pelajaran berbagi? Gurunya bertanya, 4 dibagi 2 berapa? Muridnya diam saja. Gurunya mengulangi lagi, kamu punya 4 mangga, kamu bagi 2 ke temanmu, tinggal berapa manggamu? Muridnya bertanya balik, Itu mangga ranum atau masih mentah Bu Guru, karena kalau mangga ranum saya tidak mau bagi.
Gurunya mulai marah, ini sekadar contoh saja! Muridnya menjawab lagi, biar contoh saya juga tetap tidak mau bagi. Anekdot ini menyajikan fenomena anak yang sudah pasti dibesarkan oleh kultur penambahan dan perkalian dalam hidupnya, dan efeknya pelajaran berbaginya selalu tertinggal.■
TERBARU
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita