Jumat, 17 April 2020 | 13:49 Wita
4 Syarat Pemimpin Versi Umar Bin Khatab
■ Oleh: Aswar Hasan, Dosen Universitas Hasanuddin
HidayatullahMakassar.id — Suatu ketika Umar Bin Khattab Sang Khalifah yang Agung, duduk merenung lalu tampak menghela nafas panjang tampak seolah ruhnya akan terlepas dari raganya.
Sahabatnya yang ahli tafsir, Abdullah Bin Abbas RA yang tak jauh dari sisinya, menjadi penasaran dan bertanya: “Apakah yang engkau sedang prihatinkah sehingga menarik nafas sebegitu panjang dan mendalam?”.
Mendengar sapaan sahabatnya, Umar pun menjawab: “Ya, saya memang lagi sedang prihatin.” Lalu ia meminta sahabatnya itu, lebih mendekat, kemudian ia memaparkan keprihatinannya tentang beratnya problematika kepemimpinan umat. Dan, siapa sajakah sosok yang kurang lebih bisa mengembannya dan mampu mengatasi problem kepemimpinan yang kelak dihadapinya itu.
Mendengar keprihatinan Umar, Ibnu Abbas pun berkomentar agar Sang Khalifah tidak usah terlalu galau karena dia memiliki sahabat-sahabat yang hebat yang memiliki komitmen dan dedikasi pengabdian yang tinggi.
Usai mendengar pandangan Ibnu Abbas, Umar pun berkata, bahwa dalam mengemban kepemimpinan umat tidaklah mudah dan amat berat. Sosok yang mampu mengembannya adalah; sosok yang tegas, tetapi tidak sewenang-wenang, lembut tetapi tidak lemah, murah hati tetapi tidak boros, serta hemat tetapi tidak kikir. Hanya sosok yang memiliki sifat dan kemampuan seperti itulah yang bisa memimpin dengan baik.
Mendengar penuturan keprihatinan Umar, Ibnu Abbas pun berkesimpulan bahwa kriteria itu, sesungguhnya telah dimiliki dan dicontohkan oleh Sang Khalifah. Lebih lanjut, keempat syarat ideal kepemimpinan bagi seorang pemimpin itu dapat diurai sebagai berikut:
Pertama Tegas tapi tidak sewenang-wenang. Setiap pemimpin harus bisa tegas, agar bisa diikuti dan dipatuhi, baik secara sukarela atau tidak, sepanjang kebijakannya itu sudah benar dan baik bagi kepentingan semua pihak. Memang, tidak semua perintah atau keputusan seorang pemimpin serta merta diikuti oleh segenap orang yang dipimpinnya.
Sekalipun prosedur, sifat subtansi perintah itu sudah benar. Ada-ada saja kendala dalam proses implementasinya. Nah, menghadapi resistensi tersebut, seorang pemimpin pantang untuk sewenang-wenang, secara mentang-mentang, dalam otoritasi ketegasannya.
Kedua, lembut tetapi tidak lemah. Kelemahlembutan menjadi penting bagi seorang pemimpin agar tidak dijauhi oleh para pengikutnya. Melalui kelemahlebutan tersebut, akan terpancar dan terasa kasih sayangnya terhadap orang yang dipimpinnya. Sebaliknya jika seorang pemimpin kerap menonjolkan kekerasan, karena ingin dianggap kuat dan ditakuti, rakyat akan menjauh, tidak respek, karena ketakutan dalam kecemasan.
Seorang pemimpin harus menjauhkan diri dari rasa ditakuti, tetapi disegani dan dihormati. Rasa hormat dan segan itu, hanya lahir dari hati seorang yang telah merasa disayangi.
Di samping seorang pemimpin harus lemahlembut, ia jangan sampai dianggap lemah. Di balik kelemahlembutannya itu, dia harus bisa bertindak tegas dengan berani. Dalam ketegasan dan keberaniannya di balik kelemahlebutannya itulah, akan lahir penghormatan, kesetiaan dan rasa cinta yang tulus dari orang-orang yang dipimpinnya.
Ketiga, Murah hati tetapi tidak boros. Seorang pemimpin harus bisa bermurah hati, ringan tangan banyak membantu rakyatnya tanpa pilih kasih dan pilih tempat. Salah satu ukuran standar bahwa pemimpin itu murah hati, adalah jika rakyatnya tidak segan dan sungkan meminta pertolongan jika butuh dibantu, baik secara pribadi maupun secara dinas.
Tidak ada jarak psikis atau pun sosial politik antara ia sebagai pemimpin, terhadap rakyat yang dia pimpin. Kapan dan dimana saja, serta dalam situasi bagaimana pun, seorang pemimpin bisa ditemui untuk dimintai bantuan. Soal cara merealisasikan bantuannya tentu masing- masing sudah ada cara dan mekanismenya.
Seorang pemimpin yang murah hati dan ringan tangan membantu, harus juga bisa melakukannya secara proporsional sesuai kebutuhan dan peruntukan. Jangan sampai melewati batas sehingga terkesan rajin menghambur-hamburkan uang negara secara tidak relevan dan urgen. Terlebih jika bantuan yang boros berlebih itu, hanya tertuju pada kelompok (pendukung) kepentingannya saja.
Keempat, Hemat tetapi tidak kikir. Seorang pemimpin harus punya kepiawaian melakukan penghematan anggaran. Dalam bahasa manajemen keuangan adalah efisiensi. Mengelola negara dalam pemerintahan, pasti butuh biaya besar, sementara anggaran tidak selamanya tersedia secara cukup.
Olehnya itu, butuh efisiensi yang tepat sasaran. Namun demikian, jangan sampai justru yang terjadi ada adalah pengetatan yang mengekang alias kikir. Tetaplah membantu, meski sedikit. Kata pepatah, sedikiit pun akan cukup, kalau banyak, toh habis juga.
Pertanyaannya, adakah pemimpin seperti itu saat ini? Dimana dan siapa? Semoga pembaca Budiman bisa menemukannya, karena sosok pemimpin seperti itu, pernah nyata dan eksis mencontohkan kepemimpinannya. Bukan sekadar cerita dalam pewayangan. Wallahu A’lam Bishawwabe.■
TERBARU
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita
-
Raih Belasan Medali, Atlet Tapak Suci Pesantren Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu Terbaik di Kejurnas UINAM Cup
18/11/2024 | 05:42 Wita