Minggu, 12 April 2020 | 12:56 Wita

Pelajaran dari Virus Corona

Editor: Firman
Share

Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA., Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang

HidayatullahMakassar.id — Belum ada tanda-tanda kapan wabah virus corona akan lenyap dalam skala lokal dan global. Bahkan, terlihat grafiknya terus meningkat, di Enrekang misalnya yang selama ini masih zona hijau, kini sudah dinyatakan sudah ada yang positif.

Berbagai upaya telah dilakukan, walau secara resmi pemerintah pusat belum melakukan lockdown skala nasional, tapi himbauan untuk jaga jarak (sosialdistancing), darurat sipil dan pembatasan sosial skala besar sudah diterapkan, termasuk di DKI Jakarta sedang dilakukan walau dianggap telah terlambat, ibarat nasi sudah jadi bubur.

Dengan jelas, saya yang tinggal di daerah menyaksikan dengan kasat mata jika para aparat desa, dan masyarakat kampung lebih sigap menanggapi isu Covid-19 daripada pemerintah pusat yang terlihat menggunakan ‘seperti jurus mabok’ tidak menentu dan tidak jelas arah tujuannya.

Di sini, setiap kampung bahkan telah melakukan pencegahan total dengan menerapkan sistem karantina atau lockdown wilayah masing-masing. Penduduk setempat tidak boleh keluar, dan penduduk dari luar tidak bisa masuk.

Beberapa contoh, seperti Desa Baringin Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang. Jalan utama masuk ke desa tersebut sudah diberi palang berupa pohon besar yang sengaja ditebang dan melintang di tengah jalan utama. Demikian pula Kecamatan Bungin, atau paling jauh dari Kota Enrekang, jalanan ke daerah ini sama sekali sudah ditutup total dengan pohon kayu yang telah ditebang.

Ini menandakan bahwa sebenarnya masyarakat kita, khususnya di pedalaman tidak banyak ambil pusing dengan kebijakan pemerintah pusat yang plin plan, planga plongo dan jurus mabok. Sejujurnya, masyarakat kita tidak terlalu pusing dengan pemerintahnya karena mereka terbiasa diabaikan alias mengurus diri sendiri.

Corona Virus atau Covid-19 telah membuka mata dunia, bahwa umat manusia pada hakikatnya hanyalah makhluk kerdil dan tiada apa-apanya di hadapan Sang Khalik, Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, wajarlah jika dalam situasi seperti ini kita menyadari posisi masing-masing bahwa pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan. Walau dijadikan sebagai khalifah, tapi tidak semua mampu diatasi oleh manusia.

Suasana seperti saat ini semestinya menjadi wahana bertafakkur dan merenung lalu menhambil pelajaran jika hidup di dunia ini ada batasnya. Orang kaya, miskin, pejabat, pengusaha, politisi, orang sakit, sehat, anak-anak, remaja, dewasa, dan manula sama semua posisinya, jika tidak ada usaha dan abai di tengah wabah corona, semua punya potensi akan terjangkit. Yang membedakan adalah usaha dan doa-doa seorang hamba. Jangan bersikap terlalu pasrah, jangan pula terlalu sombong dan angkuh menantang takdir.

Sebagai penganut Ahlussunnah Waljama’ah kita harus meyakini bahwa untuk terhindar dari sebuah petaka harus ada usaha dan doa, jika keduanya telah ditunaikan dan masih saja terjadi, berarti itulah ketetapan Allah yang harua diterima, pasti ada hikmahnya hanya saja, akal kita yang terbatas dalam memahami ketetapan Allah. Inilah yang dimaksud dalam sebuah hadis Nabi, Dari Aisyah, Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai wabah penyakit menular yang mematikan. Beliau menjawab bahwa wabah itu merupakan azab hukuman yang dikirim Allah kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, tetapi Allah menjadikan itu sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman karena siapapun yang mendapat wabah penyakit di negerinya lalu ia tetap tinggal di situ dengan sabar lantaran mengharap pahala dari Allah serta yakin bahwa segala sesuatu yang menimpanya pasti sudah ditentukan oleh Allah, maka jika ia meninggal dunia baginya pahala seperti orang yang gugur syahid di jalan Allah, (Hadis Riwayat Imam Bukhari).

Namun, dalam syarah hadis di atas, ditegaskan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi jika ingain mati syahid: pertama, yang terkena wabah harus seorang yang beragama Islam; kedua, yang bersangkutan harus sabar bertahan tinggal di negeri/kampungnya selama wabah melanda; ketiga, ia meyakini bahwa apa yang menimpanya itu berupa penyakit mematikan adalah ketetapan Allah. Tetapi jika dalam masa lockdown dia tinggal di rumah atau di kampung tetapi tetap menggerutu, gundah gulana, menyesal, berandai-andai, tak pernah berhenti mengeluh, maka tidak ada pahalanya, jika ia mati maka tidak tergolong mati syahid. (Ibn Hajar as-Atsqalani, Fath Al-Bari bisyarh shahih al-Bukhari, 10/193-194).

Last but not least, saya sampaikan sebuah hadis yang sangat dahsyat, semacam kisi-kisi agar terhindar dari musibah dan bala, termasuk Covid-19 tentunya, hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Abu Nu’aim, Bentengi harta kalian [dari kerugian] dengan berzakat, obati orang-orang sakit kalian dengan sedekah, dan tolaklah bala dengan berdoa, Hash-shinuu amwalakum biz-zakah, wa dawuu mardhakum bis-shadaqah, was-taqbaluu amwajal-bala’ bid-dua’i. Wallahu A’lam!

Batili-Enrekang, 12 April 2020.