Sabtu, 21 Maret 2020 | 05:44 Wita

Al-Isra Wal-Mi’raj dan Covid 19

Editor: Firman
Share

Oleh: Imam Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Di tengah kehebohan dunia tentang virus Corona atau Covid 19 saat ini, umat ternyata banyak yang melupakan jika saat ini kita telah berada di bulan yang mulia. Salah satu bulan yang Allah doakan keberkahannya bersama sebulan setelahnya.

“Allahumma baarik lanaa fii Rajab wa Sya’baan wa ballighna Ramadhan”. (Ya Allah berkahi untuk kami bulan Rajab dan Sya’ban dan berikan kesempatan kepada kami untuk sampai ke bulan Ramadan”.

Tentu doa ini bukan tidak punya maksud mulia dan khusus. Allah yang Maha tahu. Tapi mungkin salah satu makna di balik dari doa tersebut adalah mengingatkan umat ini untuk mempersiapkan diri secara matang untuk memasuki bulan mulia, bulan yang penuh barokah, bukan rahmah dan maghfirah Ilahi. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh manusia yang di hatinya terpatri cahaya iman. Itulah bulan Ramadhan.

Khusus di bulan Rajab ini ternyata ada sebuah peristiwa maha penting dalam sejarah Islam, yang biasanya diperingati begitu dekat dan meriah, kini malah hampir terlupakan. Itulah peristiwa Isra dan Mi’raj Rasulullah SAW.

Saya menyebutkan maha penting karena sesungguhnya ada empat fase terpenting dalam sejarah Islam. Yaitu satu, Nuzulul Quran sebagai awal hadirnya risalah terakhir ke bumi ini. Dua, Isra’ Mi’raj sebagai awal momentum Kebangkitan Umat secara individual. Tiga, Hijrah sebagai momentum awal kebangkitan umat secara kolektif. Dan empat, Fathu Makkah sebagai simbol kebangkitan Islam global.

Isra’ Mi’raj dan soliditàs Iman

Peristiwa Isra Mi’raj didahului oleh masa-masa tersulit dalam perjalanan dakwah baginda Rasulullah SAW. Kemarahan dan permusuhan kaum Quraish kepada Rasulullah SAW dan pengikutnya menjadikan keluarga Rasulullah secara keseluruhan Bani Hasyim, diboikot. Mereka pun mengalami kesulitan yang tidak terbayangkan (unimaginable).

Di tengah kesulitan itu, dan di saat-saat Rasulullah SAW memerlukan dukungan moril, dua orang pendukung moril terkuat beliau juga meninggal dunia. Isteri tercinta beliau, Khadijah RA, yang merupakan penopang utama secara internal meninggal dunia. Dan paman tercinta beliau, Abu Thalib, yang merupakan penopang eksternal utama beliau juga meninggal dunia.

Kematian kedua orang terdekat dan tercinta itu dan di tengah tekanan musuh-musuh beliau, Rasulullah SAW merasakan seolah dunia ini begitu sempit. Seolah di hadapan beliau tiada lagi setitik sinar harapan itu. Seolah semua telah berakhir.

Di tengah gelap gulita alam sekitar ketika itulah Allah Yang Maha Rahman membuka pintu kasihNya bagi hambaNya yang paling mulia. “Abduhu” adalah panggilan bagi hamba yang mulia itu. Allah SWT memperjalankannya di malam hari dalam dua dimensi perjalanan suci.

Kedua dimensi itu adalah dimensi horizontal dan dimensi vertical. Perjalanan horizontal itulah yang dikenal dengan Al-Isra. Dan perjalanan vertical lebih dikenal dengan Al-Mi’raj.

Saya tentunya tidak perlu lagj membicarakan apa dan bagaimana terjadinya peristiwa itu. Saya justeru lebih tertarik untuk berbicara tentang relevansi Isra’ Mi’raj di tengah terpaan musibah Covid 19 saat ini. Saya yakin bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam punya makna-makna relevan dengan hidup manusia.

Sejarah bukan untuk dihafal. Justeru sejarah untuk diambil hikmah-hikmahnya. Mungkin ungkapan Al-Quran yang paling tepat adalah bahwa pada sejarah itu ada “ibrah” atau pelajaran bagi kehidupan manusia.

Oleh karena saat ini kita berada dalam suasana goncangan isu virus Corona, saya mencoba menemukan relevasi sejarah Isra Mi’raj dan cobaan Corona tersebut. Adakah relevansinya? Dan jika ada di mana saja?

Saya membatasi 3 pelajaran penting yang saya anggap sangat relevan dari Isra Mi’raj dalam konteks goncangan cobaan virus Corona ini.

Pertama, tidak dapat disangkal bahwa goncangan yang diakibatkan Corona saat ini memang luar biasa (unprecedented). Bahkan mungkin boleh saja di luar dari imajinasi dan nalar biasa manusia (beyond our imagination and human capacity).

Betapa tidak. Barangkali baru kali ini dalam sejarah hampir di semua negara masjid-masjid pada menutup diri dari sholat-sholat lima waktu dan Jumatan. Bahkan di Saudi Arabia semua masjid-masjid meniadakan sholat Jumat kecuali masjidil haram dan masjid an-Nabawi. Itupun hanya bersifat simbolik yang diikuti oleh segelintir jamaah.

Di Amerika Serikat organisasi Islam, termasuk majelis ulama seperti Fiqh Council of North America, AMJA atau Ikatan Ahli Fiqh Amerika, dan lain-lain semuanya sepakat untuk sementara meniadakan sholat-sholat lima waktu dan Jumatan di masjid-masjid.

Bagi saya pribadi, tidak ada cobaan yang lebih besar dari hal tersebut di atas. Dan karenanya saya anggap merebaknya wabah Corona ini adalah tantangan besar yang sedang hadir di hadapan umat Islam.

Hal ini mengingatkan kita bagaimana tantangan yang hadir di hadapan Rasulullah SAW sebelum diperjalankan oleh Allah SWT. Tapi satu hal yang beliau contohkan kepada kita adalah justeru tantangan itu dijadikan oleh beliau sebagai momentum untuk mengetuk pintu-pintu langit, memohon intervensi suci (divine intervention).

Allah pun Yang Maha Kasih kepada hambaNya turun tangan meringankan beban batin sang hamba dengan sebuah Perjalanan suci. Perjalanan itu bagaikan “way out” dari gelapnya keadaan yang meliputi baginda Rasulullah SAW.

Inilah pelajaran pertama dari Isra Mi’raj di tengah gelapnya wajah dunia akibat Corona saat ini adalah angkat wajahmu, tengadahkan tanganmu, ketuk pintu langit kiranya Allah intervensi meringankan beban ini. Jangan karena ragam informasi yang kita terima menjadikan kita panik, hilang percaya diri bahkan frustrasi dan melakukan reaksi yang tidak rasional. Insya Allah kita segera diangkat ke atas ke tingkatan kemuliaan yang lebih tinggi.

Kedua, sebagaimana disebutkan di atas bahwa Isra Mi’raj ini mencakup dua dimensi. Dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Tentu ini juga memaknai bahwa bagi orang-orang beriman, menghadapi cobaan hidup, termasuk Covid 19 ini juga memerlukan dua pendekatan. Pendekatan horizontal dan pendekatan vertikal.

Pendekatan horizontal ini begitu sangat relevan ketika manusia harus mengisolasi diri. Dalam hidupnya manusia tidak mungkin melepaskan diri dari manusia lain di sekitarnya. Dan karenanya di saat harus melakukan “social distance” manusia justeru dituntut untuk mampu membangun rasa solidaritas (sense of solidarity) dengan sesama manusia.

Di tengah keadaan yang terkadang menjadikan sebagian panik, manusia teruji apakah punya rasa solidaritas atau tidak. kenyataannya banyak manusia yang gagal. Sebagai misal, mereka memborong komoditas kebutuhan dasar di luar kewajaran sehingga banyak orang yang kemudian kehilangan kesempatan.

Perjalanan horizontal Rasulullah juga sangat relevan dengan eksposur Corona tentang realita dunia kita saat ini. Disebutkan bahwa Rasulullah SAW menemui semua nabi dan Rasul. Mereka ini adalah representasi imat manusia secara global.

Virus Corona yang merebak pertama kali di kota Wuhan China kini merambah dengan kecepatan luar biasa ke seluruh penjuru dunia. Sungguh membuka mata manusia bahwa dunia di mana kita hidup sekarang ini adalah dunia global yang memiliki keterikatan (interconnectedness) yang sangat ketat.

Sadar akan realita dunia yang “interconnected” ini harusnya membangun kesadaran bahwa Corona adalah musuh bersama manusia. Dan karenanya harusnya dihadapai secara bersama-sama. Corona menyerang bangsa-bangsa yang kuat, seperti China dan Amerika. Corona juga menyerang bangsa-bangsa yang masih dalam kategori berkembang bahkan lemah.

Realita tersebut harusnya menyadarkan manusia untuk mengurangi tendensi egoistik dan merasa kuat dan mampu menyelesaikan masalah-masalah dunia tanpa orang lain. Bahwa permasalahan sebuah bangsa pasti akhirnya menjadi permasalahan semua bangsa. Dan karenanya diperlukan kerendah hatian dan kebersamaan semuanya.

Hal terpenting lainnya dari simbolik perjalanan horizontal ini adalah bahwa masanya manusia mengurangi tendensi saling menyalahkan dan merendahkan karena masalah yang dihadapi. Apalagi menyalahkan orang lain dengan membangun teori konspirasi yang tidak berdasar.

Demikian pula kiranya semua orang menghentikan tendensi rasisme dengan memakai Corona sebagai pembenaran. Saya diingatkan masa lalu, khususnya pasca 9/11 di AS. Istilah Osama bin Laden atau Terroris seolah menjadi labelnya orang-orang Islam.

Saat ini tendensi rasisme dengan Corona bermunculan di dunia Barat. Di Amerika kita dapati beberapa kasus orang-orang China dihina bahkan diserang secara fisik karena dianggap penyebab Corona. Presiden Amerika sendiri dengan terbuka memakai kata “Chinese virus” yang pastinya menjadi pendorong terjadinya diskriminasi dan agresi kepada warga China di mana-mana.

Pada bagian lain, aspek vertikal perjalanan Isra Mi’raj ini, dari Baitul Maqdis menuju Sidratul Muntaha mengajarkan bahwa menghadapi cobaan hidup, termasuk Covid 19 saat ini, memerlukan kekuatan Samawi. Manusia dengan segala kehebatannya penuh kelemahan dan keterbatasan.

Karenanya setelah mengambil semua upaya manusiawi untuk menghadapinya, masanya kita menghadapkan wajah ke langit menyampaikan harapan kepada Allah SWT untuk meringankan beban-beban kita.

Minimal dua hal penting yang harus kita lakukan. Pertama, kembali perkuat iman dan tawakkal kita. Yakini sepenuh hati bahwa tak siapapun yang memberikan manfaat atau sebaliknya bahaya kecuali jika Allah izinkan. Kedua, berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan kiranya Allah segera memberikan solusi dari ancaman wabah ini.

Ketiga, akhir dari perjalanan suci Rasulullah ini adalah kenyataan bahwa beliau harus kembali ke bumi lagi. Rasulullah kita kenal diajak mengelilingi keindahan syurga. Tapi beliau justeru tidak tergoda untuk merubah niat, minta untuk tidak lagi kembali ke bumi.

Sebuah pelajaran penting bahwa bumi yang sementara ini begitu penting. Di bumi inilah kita berjuang untuk masa depan yang sesungguhnya. Di bumi inilah kita menentukan warna masa depan manusia, baik masa depan yang dekat (dunia) maupun masa depan yang jauh dan abadi (akhirat).

Karenanya umat saat ini yang tengah digoncang oleh virus Corona, akan membangun optimisme bahwa pada akhirnya kita akan kembali ke kehidupan normal. Bahkan bukan sekedar kehidupan biasa. Justeru akan menjadi lebih baik dan inovatif.

Rasulullah kembali ke bumi membawa perintah sholat lima waktu. Sholat kita kenal sebagai satu dari lima tiang agama. Bahkan secara khusus sholat dikenal Sebagai “imaaduddin” atau tiang agama.

Tapi bagi saya yang lebih penting dipahami lagi bahwa salah satu makna terpenting dari sholat adalah solusi dari berbagai tantangan hidup. Dalam hadits disebutkan: “Adalah Rasulullah SAW jika menghadapi masalah beliau bergegas melaksanakan sholat”.

Kiranya dengan Corona umat tersadarkan bahwa wabah pandemi ini jangan sekedar berlalu. Tapi hendaknya berlalu dengan sebuah akhir yang lebih baik. Akhir yang akan membawa kreasi-kreasi inovatif bagi kemudahan hidup manusia ke depan.

Mungkin satu di antaranya adalah bahwa dengan Corona ini umat akan lebih termotivasi untuk melakukan research atau penelitian di bidang kesehatan, sehingga ancaman-ancaman semacam ini atau lainnya ke depan akan lebih terantisipasi. Insya Allah ■

New York, 20 Maret 2020

  • Presiden Nusantara Foundation

https://www.nusantarafoundation.org/



BACA JUGA