Kamis, 12 Maret 2020 | 10:18 Wita

Fahira Minta Sekolah Ramah Anak Dijadikan Program Prioritas

Editor: Firman
Share

HidayatullahMakassar.id – Anggota DPD RI Fahira Idris mengatakan bahwa kekerasan di lingkungan sekolah harus menjadi perhatian semua pihak. Belakangan ini, sejumlah video kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah tersebar luas di masyarakat.

Misalnya, yang terjadi di salah satu SMK di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Kondisi ini, kata Fahira, tentu sangat memprihatinkan semua pihak.

Padahal, sekolah dan institusi pendidikan sejatinya adalah tempat bagi siapa saja, terutama anak-anak, untuk menjadi manusia seutuhnya. Sehingga, anak-anak berani mengubah penindasan menjadi keadilan, ketertinggalan menjadi sebuah peradaban, dan kekerasan menjadi kedamaian.

“Sebenarnya kita sudah punya konsep dan formulasi yang menurut saya cukup efektif dan komprehensif yaitu Sekolah Ramah Anak (SRA). Dengan berbagai penyempurnaan, hemat saya, SRA bisa diperluas implementasinya dan dijadikan program prioritas untuk menekan dan menghentikan kekerasan di sekolah,” ujar Fahira Idris di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dalam pernyataannya, Rabu (11/3/2020).

Fahira mengatakan, selain di Indonesia, persoalan kekerasan baik verbal, fisik, bahkan seksual di sekolah juga menjadi tantangan di banyak negara di dunia.

Bahkan katanya banyak negara menjadikan persoalan ini sebagai program prioritas demi menekan dan menghilangkan aksi kekerasan yang terjadi di sekolah.

Beberapa negara, jelasnya, sudah berhasil menekan aksi kekerasan di sekolah, yaitu dengan memformulasikan cetak biru pendidikan anti-bullying. Formulasi ini berisi kerangka kerja terperinci sebagai landasan kebijakan, sasaran, strategi, hingga kepada detail kegiatan serta teknis pelaksanaan. Dalam hal ini, sekolah menjadi yang terdepan mengimplementasikannya.

Fahira menilai, SRA yang digagas sejak tahun 2014 dan sudah diimplementasikan sejumlah sekolah sangat efektif menekan bahkan menihilkan angka kekerasan di sekolah.

Formulasi SRA yang ada saat ini dinilai cukup komperhesif. Mulai dari konsep, komponen, tujuan, hingga tahapan pembentukan (persiapan; pelaksanaan; perencanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan).

Selain sekolah diwajibkan menjadi sekolah yang bersih, aman, ramah, indah, inklusif, sehat, asri, dan nyaman, komponen penting dari SRA ini, katanya, yaitu mengedepankan partisipasi anak dan mengutamakan kolaborasi mulai dari orangtua, lembaga masyarakat, dunia usaha, stakeholder lainnya, bahkan hingga alumni.

Fahira memaparkan, konsep perlindungan peserta didik SRA, lebih luas dari sekadar mencegah terjadinya kekerasan di sekolah, baik antarsiswa, guru dengan siswa ataupun sebaliknya, atau orangtua murid dengan guru.

Ini karena SRA bertujuan menciptakan iklim kehidupan di sekolah yang sama sekali tak ada kekerasan.

Dalam SRA, masih lanjutnya, peserta didik dilatih dan digerakkan hatinya dengan pembiasaan- pembiasaan yang positif sehingga tidak menjadi pelaku kekerasan. Bahkan, terhindar dari perilaku buruk lainnya seperti merokok dan narkotika.

Menurutnya, semangat SRA adalah menciptakan hubungan antar warga sekolah yang lebih baik, akrab dan berkualitas yang memang menjadi kunci untuk menghentikan kekerasan di sekolah.

Oleh itu, berbagai instansi terkait terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Pemerintah Daerah, dinilai perlu duduk bersama guna melakukan percepatan implementasi SRA.

Fahira menilai, di Indonesia masih sedikit sekolah yang menyandang status SRA, padahal ini jawaban persoalan kekerasan di sekolah.

Ia berharap, “Mudah-mudahan semua stakeholderterkait tergerak untuk melakukan percepatan SRA di semua sekolah yang ada di Indonesia.”■ hidayatullah.com


Tags:

BACA JUGA