Kamis, 5 Maret 2020 | 15:48 Wita

Sikap Mental dan Etika Engineer Islami

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Dr Ir Andi Aladin MT IPM,  Dosen FTI UMI

Cendekia.News — Ketika Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam yang kaya raya, seperti aneka tambang dan hasil bumi lainnya, maka Indonesia secara mandiri perlu memiliki sumber daya engineer untuk dapat mengolah sendiri sumber daya alam secara maksimal.

Kontribusi engineer hanya dapat optimal bila dibekali dengan sikap mental dan etika islami (akhlaqul qarimah), seperti diuraikan oleh penulis dalam bukunya Etika Engineer Islami (Aladin, A dan Wahyudi BS., 2019). 

Ahli engineer, selain mempunyai kewajiban secara umum terhadap umat manusia dan alam semesta, juga secara khusus diharapkan bisa memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa. Hal ini sesuai tersirat dalam maklumat Allah SWT : Dan tiadalah Kami mengutus anda, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. al-Anbiya: 107).

Salah satu sikap mental yang urgen dimiliki seorang engineer adalah sikap ”to be” bukan sekedar ”to have”. Idealnya, orang yang mempunyai keinginan untuk mencapai suatu status profesi, seharusnya selalu ada spirit berusaha meningkatkan diri agar mempunyai kompetensi yang pantas untuk profesi itu (to be).

Sehingga ketika seorang engineer dalam melaksanakan tugasnya tidak sekedar asal jadi (to have) , tapi ia selalu berambisi selesai dengan sempurna. Sempurna dalam arti memperhatikan multi aspek, seperti kualitas produk, biaya yang efisien dan minimalnya dampak negatif bahkan zero efek. 

Seorang engineer harus mempunyai sikap mental to be, walaupun juga tetap memperhatikan aspek to have. Dengan kata lain formalitas diperlukan, namun subtansi (isi) lebih penting lagi.  Dengan sikap mental to be, maka kemanfaatan engineer akan maksimal.

Sprit to be ini dapat dihadirkan dengan petuah Nabi Muhammad SAW: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (HR. Ahmad).  

Termasuk sikap mental adalah menekankan perlunya etika.  Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “ethikos” yang artinya timbul dari suatu kebiasaan. 

Dalam bidang profesi, etika atau kode etik merupakan hasil kesepakatan bersama di antara kaum profesional dalam merumuskan aturan-aturan tertulis dan tidak tertulis untuk melaksanakan tugas profesinya agar dapat dijalani dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab. 

Kode etik engineering berfungsi sebagai pedoman bagi anggota profesi mengenai prinsip profesionalitas, pedoman berupa apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Kode etik sekaligus menjadi instrumen kontrol bagi komisi etik suatu profesi untuk menilai kinerja dan kepatuhan anggota profesi yang selanjutnya dapat dijadikan dasar pimpinan profesi dalam memberikan penghargaan (reward)  atau sangsi  (punishment) bagi anggota profesi.

Di dalam Islam, istilah etika atau moral lebih spesifik disebut akhlaq yang baik. Ajaran akhlaq jauh lebih tinggi dan lebih bermakna dari pada sekedar ajaran moral.

Akhlaq dari kata al khuluq atau dari  al khaliq (Pencipta, Allah SWT). Orang yang berakhlaq baik selalu menghubungkan dirinya dengan sang khaliq, Allah SWT., ia berbuat baik berlandaskan iman  karena Allah SWT, bukan karena sekedar aturan yang disepakati, bukan pula karena sekedar mengharapkan pujian.

Orang yang berakhlaq atau berbuat baik karena Allah SWT sudah tentu akan jauh lebih efektif, sebab ia selalu merasa diawasi atau dekat dengan Allah SWT,  bukan karena takut dengan sangsi atau hukuman duniawi, tetapi lebih dari itu ia merasa takut dengan hukuman ukhrawi.

Singkat kata orang yang berakhlaq berorientasi dunia dan akhirat : Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat (QS. Shad : 46).  

The Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) merinci 10 poin utama etika enggineer, dalam buku Etika engineer Islami (2019) dijelaskan masing-masing poin etika, bagaimana dalam pandangan spirit Islam, berdasarkan pesan-pesan moral atau akhlaq dalam al Qur’an dan Hadits, disertai pula dengan contoh atau studi kasus.

Di antara etika tersebut, yaitu etika mengutamakan kepentingan public, terbuka kemungkinan adanya resiko/bahaya.  Engineer diwajibkan selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bukan mengabaikannya. 

Seorang engineer Muslim hendaknya mengutamakan misi “rahmatan lil alamin” (QS. al-Anbiya: 107 ). Seorang engineer tidaklah etis sekedar berambisi mengejar profit perusahaan dengan mengabaikan kepentingan publik.  Singkat kata seorang engineer  tidaklah etis “bersenang-senang di atas penderitaan orang lain”. 

Bahkan sebaliknya kehadiran engineer dalam mengemban profesi hendaklah memberikan manfaat dan keuntungan pula buat publik dan lingkungan sekitar.  Ketika kita memberi energi positif kepada lingkungan, maka lingkungan pun akan merespon balik memberi energi positif kepada kita.

Kita berbuat baik pada orang lain atau lingkungan, maka pada hakekatnya kita berbuat baik bagi diri sendiri, demikian spirit Islam yang diajarkan dalam al Qur’an: jika anda berbuat baik (berarti) anda berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika anda berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri (QS. al-Isra’: 7).  

Etika engineer  ini juga mengingatkan para engineer agar terbuka atas adanya resiko/bahaya yang mungkin timbul sehubungan aktivitas profesi yang akan dilakukan.

Untuk mendirikan suatu usaha atau industri besar di Indonesia, diwajibkan pemrakarsa melakukan terlebih dahulu studi AMDAL sebagai syarat mendapatkan izin lingkungan. Dalam dokumen AMDAL itulah dituangkan semua kemungkinan ancaman bahaya atau dampak penting yang mungkin timbul sehubungan pendirian industri tersebut.   

Etika lainnya adalah Menjaga kehormatan profesi,  Menerima tugas berdasar skill. Etika ini menekankan pentingnya engineer untuk menjunjung tinggi kehormatan profesinya.

Tercakup dalam etika ini adalah larangan untuk bekerjasama atau melibatkan diri dengan pihak-pihak yang melakukan kegiatan yang merugikan kehormatan profesi teknik, dan juga tidak mengijinkan namanya dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan semacam itu.

Seorang engineer yang biasa bekerja di bidang perikanan misalnya, suatu ketika diminta bergabung dalam tim proyek penambangan galena, dimana ia sendiri tidak tahu persis tugas spesifik apa yang harus dikerjakan sesuai keahliannya, maka etika ini menuntut engineer tersebut menolak tawaran tersebut.

Kalaupun terpaksa juga harus terlibat, dengan dalih “tidak ada rotan, akarpun jadi”,  namun ia perlu menyatakan secara terbuka keterbatasannya di bidang tersebut. Rasulullah SAW memotivasi untuk berkerja sesuai keahliannya, “…Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HSR. Bukhari).

Etika engineer lainnya adalah Pro kritik, menerima masukan. Kritik hendaknya jangan disikapi negatif sebagai sebuah teguran hinaan.  Kiritikan hendaknya disikapi sebagai perhatian bahkan sebagai hadiah pemberian dari orang lain. 

Ketika seorang engineer kawakan (almarhum) Prof. Dr. Ir. BJ. Habibie dikritik bernada dihina oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin (Nasional Tempo.Co Rabu, 12 Desember 2012), beliau tidak merespon negatif dan emosional kiritikan tersebut. Bahkan beliau berusaha mengambil hikmah di balik kritik tersebut dan dengan bijak menyampaikan terima kasih dan mengatakan bahwa “syukurlah ada orang yang ingin berkorban waktu dan pikiran memberikan perhatian khusus untuk mengeritik saya, sementara saya sendiri tidak ada waktu untuk berbuat yang sama kepada  mereka,” kata Habibie.

Bahkan bukan hanya siap menerima kritik, namun mengingat kritik itu adalah kebutuhan, maka justru engineer perlu bermohon untuk dikritik,  dikoreksi atau istilah akuntansinya di “audit”. Perusahaan yang maju setiap tahun menyiapkan anggaran khusus untuk diaudit, menyewa pihak independen dan profesional dalam rangka melakukan audit dan kritikan kepada perusahaan.

Setiap kritikan yang diberikan pihak lain hendaknya disikapi sebagai bahan intropeksi dan bahkan ditindaklanjuti untuk dilakukan perbaikan demi kebaikan profesi dan perusahaan. Jadi  “parner kritik” itu adalah sesuatu yang dibutuhkan dalam hidup ini, sebagaimana kita butuh cermin untuk melihat wajah kita dari noda. Islam pun memberi spirit: tolong-menolonglah  dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran…..”(QS. Al-Maidah 5: 2).  Wallahu wa’lam.■