Sabtu, 1 Februari 2020 | 17:25 Wita

Bagaimana Hukum Suami Hidup dari Gaji Istri ?

Editor: Firman
Share

■ Konsultasi Fiqih & Muamalah, Oleh : Ustadz Abd. Qadir Mahmud, S.Pd.I, MA

HidayatullahMakassar.id — Bagaimanakah hukum dalam Islam seorang suami yang hidup bergantung dari gaji istrinya ?
Ihwan di Bumi Allah

Jawaban;
Alhamdulillah wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du; Pada dasarnya, wanita bila sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah serta anak-anaknya menjadi tanggung jawab sang suaminya, wanita tidak wajib untuk menanggung nafkah keluarga.

Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka“. [QS.an Nisaa: 34].

Namun kenyataannya tidak sedikit terjadi seorang isteri yang berpenghasilan lebih melalui aktifitas kerja yang berbeda, dan pada saat yang sama seorang suami memperoleh pendapatan yang sedikit, atau memang ia tidak bekerja. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah uang itu milik isteri semata, hingga tidak ada hak bagi suaminya untuk menikmatinya. Ataukah termasuk milik bersama-sama dengan suaminya. Kapan saja suami membutuhkan, ia dapat saja memakainya ?.

Ikhwah di Bumi Allah, gaji, pendapatan, atau uang milik isteri yang didapatkannya dari jalan yang diperbolehkan syariat, secara penuh menjadi hak milik isteri. Seorang suami, tidak mempunyai hak sedikit pun dari harta tersebut, hanya karena dia sebagai suami tidak berarti boleh mengambil hak milik istrinya, atau memanfaatkan harta istri menurut kemauannya tanpa keridhaan instrinya.

Sebagaimana halnya mahar (mas kawin), uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, maka perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya.

Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya, sebagaimana firman Allah dalam QS.An-Nisa: 4
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya“. [an Nisaa 4 : 4)

Syaikh Bin Baz pernah ditanya perihal seorang yang mengambil gaji istrinya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?” Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar ridhanya, jika ia seorang wanita berakal sehat. Begitu pula segala sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela. “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya“. [an Nisaa: 4].

Idealnya, antara suami dan isteri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik isteri. Begitu pun sebaliknya, isteri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Wallahu a’lam.■