Jumat, 24 Januari 2020 | 10:40 Wita
Fikih Kepatuhan
■ Oleh, Dr Ilham Kadir, MA,
HidayatullahMakassar.id — Seorang pengemis di Bogor tertangkap kamera ketika hendak membuka pintu mobil pribadinya, Herman namanya. Ia sudah menjadi pengemis sejak belasan tahun silang, mangkal di dekat lampu merah. Ketika fotonya viral dan dipergunjingkan oleh penghuni dunia maya, ia pun kaget, namun mengakui kalau ia memang merental mobil dan sopir pribadi setiap kali berangkat kerja sebagai peminta-minta di Kota Bogor.
Kasus Herman, Si Pengemis perlente itu membuka tabir keanehan demi keanehan yang ada di negeri ini. Fakta lain, seperti dikutip dari laporan tahunan Pertamina 2018, kompensasi manajemen kunci dan dewan komisaris yang dibayarkan oleh perseroan senilai US$ 47,27 juta hingga 31 Desember 2018. Jika dikonversi dengan asumsi kurs Rp 14.000 per dolar, nilai itu sekitar Rp 661,82 miliar. Kini, jumlah direksi dan komisaris Pertamina sebanyak 19 orang yang terdiri dari 11 direksi dan 8 komisaris. Jika nilai kompensasi itu dibagi rata, setiap direksi dan komisaris Pertamina menerima sedikitnya Rp 34,83 miliar per tahun.
Berdasarkan laporan keuangan BPJS Kesehatan, pada Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan dana operasional untuk delapan direksi sebesar Rp 32,88 miliar. Artinya, setiap anggota direksi mendapat insentif Rp 4,11 miliar per orang. Dengan kata lain, seluruh direksi menikmati Rp 342,56 juta per bulan. Ada pun beban insentif kepada tujuh dewan pengawas BPJS Kesehatan rata-rata mendapat Rp 2,55 miliar. Apabila insentif yang diterima dewan pengawas dalam 12 bulan insentif, maka upah yang diterima oleh dewan pengawas BPJS Kesehatan Rp 211,14 juta per bulan.
Wahyu Setiawan, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terjaring Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) memiliki sejumlah aset di kampung halamannya, Banjarnegara. Salah satunya rumah mewah di Graha Prima Land. Rumah mewah itu ditaksir bernilai miliaran rupiah. Wahyu Sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka karena kedapatan menerima suap sebesar Rp 400 juta dari petinggi salah satu partai besar.
Adakah yang salah dalam kasus Herman, Direksi Pertamina dan BPJS, hingga rumah mewah Wahyu Setiawan? Itulah yang saya sebut “Fikih Kepatutan”.
Fikih Kepatutan adalah tenggangrasa terhadap kondisi yang ada di sekitar kita yang terdekat seperti lingkungan dimana kita hidup, komunitas, hingga daerah, dan negara. Kepatutan adalah norma-norma umum yang kita sepakati secara kultur alias turun temurun. Kepatutan adalah kepekaan dan senonoh, lawan dari kepatutan adalah tidak peka dan tak senonoh.
Keempat kasus di atas, adalah ilustrasi nyata yang ada di negeri ini. Bukan mitos, bukan dongen, dan bukan pula fiksi, tapi nyata adanya. Kepatutan juga kadang menjadi antitesa dari hukum positif. Orang-orang pintar ketika berbicara, pasti selalu mengacu pada landasan hukum, apa pun yang diperbuat selama itu legal maka tidak jadi masalah, kendati harus mempermalukan diri sendiri.
Secara hukum positif dan agama, Herman tidak ada masalah, tidak berbuat kriminal, tidak merugikan orang lain, hanya saja digategorikan sebagai penyakit sosial dan memalukan. “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api. Man sa’ala bighairi faqrin faka’annama ya’kulul-jamrah,” begitu sabda Nabi yang dirawikan Imam Ahmad, (IV/165). Demikian pula Wahyu Setiawan yang memiliki rumah mewah, sah-sah saja. Bagaimana dengan pengelola BUMN? Sulit dipahami, di tengah menjeritnya rakyat karena susah mengakses pekerjaan, harga kebutuhan pokok meroket, nilai uang merosot tajam, biaya pendidikan meningkat signifikan. Kesehatan, banyak orang meragang nyawa akibat tidak mampu berobat sebab terkendala biaya. Banyak peserta BPJS terpaksa undur diri atau turun kelas akibat naiknya nominal yang harus dibayar, konyolnya yang tak masuk BPJS disoal, dan yang menunggak kena sanksi.
Bahkan, saat ini, lagi ramai gonjang-ganjing bahwa tabung gas ‘melon’ 5 kg akan meroket sampai 75 persen. Di lain pihak, bahan bakar jenis pertamax turun. Dipahami bahwa pengguna pertamax adalah golongan berduit cukup atau banyak, dan pengguna tabung gas melon dari golongan yang tak cukup banyak duit.
Fakta ini memunculkan pertanyaan, Apakah patut ada orang yang gaji pokoknya ratusan juta bahkan miliaran, sementara banyak rakyat yang sengsara dan melarat. Sungguh tidak patut, sebab ada guru honorer bergaji Rp 300 ribu perbulan, dibayar tiga bulan sekali. Bahkan, banyak pendidik di pondok-pondok pesantren yang mengasuh tunas-tunas bangsa selama 24 jam, tapi sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Jasa mereka, begitu besar, namun hanya Tuhan yang tau, pemerintah tidak mau tau. Kadang-kadang mereka dikunjungi, dijanji bantuan ini dan itu ketika pilpres tiba, setelah usai, ditinggal. Laksana diajak mendorong mobil mogok, begitu mobil lari, para kiai dan santrinya tertinggal.
Penyelenggara negara, Komisaris Utama BUMN, dan semisalnya, kalau kita mau jujur sebetulnya bergaji dengan standar gaji yang diterima presiden pun sudah lebih dari cukup, kisaran 60 hingga 100 juta perbulan. Apalagi semua fasilitas ditanggung negara atau Badan Usaha Milik Negara. Akan lebih menyakitkan jika bergaji tinggi fasilitas oke, tapi masih mempan disuap seperti Wahyu Setiawan. Selain itu, komisaris, direksi, dan direktur BUMN tidak bekerja sendiri, tapi banyak pembantunya yang gajinya juga pasti besar. Sungguh tak patut dan tak senonoh, jika gaji pengelola BUMN yang setiap tahun bangkrut dan terus menerus mendapat subsidi dari negara namun gaji komisarisnya lebih dari sepuluh kali lipat dibanding gaji presiden. BUMN kita juga aneh, walaupun bisnisnya monopoli tapi tetap rugi, wajar jika kita pertanyakan, teori apa yang digunakan oleh para pengelola BUMN yang gajinya selangit itu? Atau mungkinkah keuntungannya bocor lalu melewati kanal-kanal partai politik dan tim sukses calon presiden tertentu?
Fikih Kepatutan, mengajarkan kita adab dalam hidup. Memahami posisi diri sebagai hamba Allah, hidup berkomunitas, tenggangrasa terhadap makhluk lain, dan atau manusia lainnya. Secara hukum, jika Anda makan dan kekenyangan, sementara tetangga kelaparan, tidak melanggar, tapi secara kemanusiaan, Anda sudah tak beradab alias biadab, Al-Attas menyebut sebagai orang yang ‘lost of adab’. Manusia semacam ini seharusnya sudah punah, tapi nyatanya kian banyak dengan gaya yang beda.
Selaku amil zakat, saya menasihati diri sendiri, betapa pentingnya hidup dalam kepatutan. Mengelola dana umat, dari muzakki, lalu mendayagunakan dengan harus mendistribusikan kepada mustahik. Para amil zakat wajib memahami dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam menegakkan keadilan dalam kehidupan semesta alam. Maka, tidak boleh bertindak seperti komisaris atau direksi dan direktur perusahaan. Lembaga zakat, baik Baznas maupun LAZ bukan lembaga profit untuk menumpuk uang lalu dibagi hak amilnya di akhir tahun. Mungkin secara syariat tidak melanggar karena itu memang hak para amil, tapi jelas tidak patut, sebab lembaga zakat tidak ada konsep profit share sebagaimana mestinya yang berlaku pada perusahaan yang orientasinya memang mengejar keuntungan. Dan, wajib dimengerti, zakat tidak boleh dikembangkan-biakkan oleh amil, melainkan hanya pada mustahik.
Demikian pula para mustahik, lebih khusus kepada fakir dan miskin. Masih sering dijumpai mustahik yang perokok. Mereka mampu bekerja untuk beli rokok, tapi tak mampu menghasilkan uang untuk menyediakan makanan yang bergizi bagi keluarga, dan terlalu jauh berangan-angan untuk hunian yang layak. Semua ini gara-gara rokok. Selain membunuh, rokok juga menyengsarakan kamu dan keluargamu. Wajarlah, jika Mufti Perlis, Dr. Muh. Asri Zainul Abidin melarang menyalurkan zakat kepada perokok, dan Baznas secara tegas menjadikan ‘tidak merokok’ sebagai salah satu syarat amil yang ideal, (Tim Penulis, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, 2018).
Inilah dimaksud oleh Direktur Utama Baznas, Arifin Purwakananta (2020), Ia analogikan lembaga zakat sebagai bahtera Nabi Nuh. Tulisnya, “Bahtera ini bukan untuk mencari ikan dan harta lainnya, bahtera Baznas adalah juga sebuah kapal tauhid. Orang-orang di dalamnya bukan bekerja untuk semata mencari ikan dan penghidupan namun orang-orang yang terus belajar mengikuti arah mata angin iradhah Allah. Ia akan mengarungi semesta kehidupan. Benar bahwa bahtera ini akan melewati gelombang, menerjang badai, diancam karang, dicekam petir yang menyambar. Bahtera ini semata dilayarkan untuk menuju keridhoan Allah Azza wa Jalla. Tiada kegentaran, kecuali kekhawatiran berapa kurangnya syukur kepada Allah dan betapa tipisnya kesabaran para hambanya ini. Ini adalah bahtera zakat. kita menaikinya untuk mengikis kesombongan dan ketamakan kita akan dunia. Memulai dari diri sendiri dan mengajak semesta menghujamkan ke dada umat tentang ketaatan syariat zakat yang agung. Agar syariat zakat ini tegak disemua pulau, di kota-kota, di setiap sudut negeri, di setiap gang-gang kampung, di setiap dada kaum beriman”. Dan, bagi saya, inilah inti “Semesta Kabajikan Zakat” sebagai tema sentral Baznas 2020 ini.
Maka, hiduplah untuk berbagi, menebar kebajikan semesta alam, menjunjung kepatutan. Fikih Kepatutan menjadi alat untuk memahami mana yang patut diucapkan, dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan norma agama, adat, dan hukum negara. Hidup dalam kepatutan adalah kebahagiaan yang tak ternilai dengan kacamata dunia yang penuh kerakusan. Wallahu A’lam ■
Enrekang, 23 Januari 2020.
*Penulis Novel “Negeriku di Atas Awan”; Menetap di Enrekang.
TERBARU
-
Perubahan
29/11/2024 | 08:04 Wita
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita