Rabu, 15 Januari 2020 | 06:31 Wita

Wahyu dan Akal

Editor: Irfan Yahya
Share

Ngopi Peradaban, Oleh: Irfan Yahya, MT, M.Si

HidayatullahMakassar.id –Peradaban yang materialis, dalam membangun persepsinya terhadap sebuah obyek kajian melalui informasi yang diperoleh sepenuhnya bertumpuh pada panca indra dan alat bantu teknologi yang dewasa ini berkembang dengan sangat pesat.

Peradaban materialis tidak menggunakan ayat-ayat suci sebagai sumber informasi keilmuan, olehnya itu realitas apapun yang dikaji haruslah dapat diversifikasi dengan panca indra dan pikiran tersebut.

Pada prinsipnya pertimbangan dan keputusan yang diberikan akal, lebih dekat pada realitas ketimbang sebuah kebenaran. Sesuatu yang tidak ada, dipandang akal sebagai kebenaran, hanya karena hal itu diinformasikan secara massif.

Dapat saja yang seharusnya terjadi, dipandang akal sebagai sesuatu yang asing, hanya karena sebelumnya sesuatu tersebut tidak pernah disampaikan, padahal sesungguhnya adalah kebenaran.

Jadi apa saja yang tidak mampu diserap panca indra dan pikiran, karena kompleksitas dimensional obyek – obyek itu, seperti surga, neraka, visi azaliyah manusia, wujud immaterial dan sebagainya, dipandang sebagai sesuatu yang kabur, bahkan dinafikkan keberadaannya, dan pada akhirnya mereka pun mengingkarinya.

Pada prinsipnya akal tidak dapat dengan sendirinya memberikan gambaran terhadap sesuatu yang dianggap tidak ada. Akal yang tidak terbimbing oleh wahyu, tak jauh berbeda dengan orang yang berjalan dalam kegelapan, tidak mampu melihat.

Hal ini karena akal dalam proses penyerapan dan internalisasi obyek-obyek di sekitarnya sangat ditentukan oleh pancaran obyek-obyek tersebut. Nah yang jadi masalah, tidak semua obyek dapat diserap pancarannya oleh akal dan pikiran tersebut.

Karena kelembutannya sehingga tidak tertangkap oleh akal, seperti ruh, masalah-masalah kosmologi dan bahkan Tuhannya sendiri.

Masalah-masalah ini adalah sedemikian pentingnya, dan karena alasan inilah wahyu Al Qur’an itu diturunkan oleh Allah Ta’ala untuk menerangi jalan kehidupan manusia agar tidak tersesat dalam kegelapan.

Inilah sebenarnya makna ketergantungan akal terhadap wahyu. Karena, apa yang semula gelap bagi manusia, apakah kegelapan keyakinan, moral atau ilmu pengetahuan, dengan penerangan wahyu, menjadi jelas seluruhnya.

Manusia menjadi mengerti, apakah artinya iman itu, apa artinya hidup, untuk apa ia diciptakan, dari mana asalnya segala sesuatu itu menjadi ada, dan kemana ia akan menuju.

Manusia juga menyadari tentang Tuhannya, kewajiban dan perintah – perintah yang harus dilaksanakan, ia juga menyadari kehadiran manusia lain serta bagaimana seharusnya berinteraksi dengan sesama manusia.

Dengan kesadaran terhadap berbagai hal itu, manusia menetapkan sikap hidup dan membuat perencanaan-perencanaan dan kerja-kerja yang mengantarkannya pada tujuan yang hendak dicapai.

Betapa pentingnya Al Qur’an ini bagi manusia, juga telah dipesankan oleh Rasulullah saw. Diakhir hayatnya; ‘kuwariskan kepada ummatku dua hal, yang jika ummatku berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni Kitabullah dan Sunnah’.

Kita dapat menyimak makna yang terkandung pada wasiat baginda Nabiullah Muhammad saw tersebut, bagaimana ummat Islam ini memahami dunia dan hidup seluruhnya dengan Al Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu sangat disayangkan jika kita sebagai orang yang mengaku beriman tidak menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai solusi dalam setiap masalah yang kita hadapi. Karena tanpa pemahaman itu, seseorang akan hanya mengandalkan akal fikirannya yang tidak jarang mengantarkannya pada jalan kesesatan. Naudzubillahi min dzalik.
*)Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Bayan



BACA JUGA