Jumat, 24 Maret 2023 | 16:20 Wita

Santri Menulis – Menjadi Santri Belajar Memahami Ujian Hidup

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

HidayatullahMakassar.id — Salah satu pulau paling bawah dari peta wilayah Indonesia, terdapat sebuah kota bernama Kota Pancasila, Ende, Nusa Tenggara Timur.

Lahir dan tumbuh di kota itu seorang anak yang gemar bermain sepak bola, badannya pendek namun berisi dengan kulit kecoklatan. Anak tersebut akrab disapa oleh teman-temannya dengan panggilan “Haikal”. Yaah anak itu ialah saya, Haikal Ahmad.

Saya anak kedua dari lima bersaudara, lahir dari orangtua yang sederhana, saling mengisi dan mengasihi.

Aktivitas keseharian ibu disibukkan dengan mengurus rumah dan segala isinya, termasuk saya. Sedang ayah menggais rezeki dengan mengelolah tanah di kampung.

Suatu hari, ketika aku sedang berbincang dengan saudara-saudaraku. Tak sengaja aku mendengar kedua orangtuaku sedang membicarakan jenjang pendidikanku.

Hatiku berkecamuk, dimanakah aku akan disekolahkan? Apakah di tempat kelahiranku atau tempat nan jauh di luar sana, tanah kelahiran orang lain?

Hasil akhir dari percakapan itu, aku harus merantau merasakan dinamika intelektual di tanah seberang.

Tidak lama kemudian, orangtua ku menanyakan kesediaanku. Aku menjawab “yahh” sambil mengusir semua keragu-raguanku.
Mengapa aku menuruti kemauan kedua kekasih itu?

Menurutku itu adalah jalan dan kesempatan terbaik karena aku juga ingin mencoba sesuatu yang baru.

Aku akan berlabuh di sebuah pulau unik berbentuk huruf “K”, pulau tersebut bernama Sulawesi. Aku ditempatkan di Kota Makassar atau biasa disebut dengan “Kota Daeng”, bagian selatan dari pulau Sulawesi. Aku diantar bapakku menaiki kapal menuju kota ini.

Saat aku hendak berangkat, aku tercengang ketika sampai di pelabuhan  melihat kapal begitu besar. Tak pernah terbayangkan aku akan menaikinya. Biasalah, orang desa nggak pernah lihat gituan. 

Setelah kapal bersandar di pelabukan kota, kami bergegas ke rumah keluarga di Kabupaten Pangkep untuk bersilaturahmi dan beristirahat. Barulah keesokan harinya menuju ke tujuanku yang sebenarnya, Pondok Pesantren Hidayatullah Makassar.

Ketika aku telah sampai, dengan penuh semangat bapakku menuju ruang administrasi mendaftarkan namaku sebagai calon santri. Setelah melengkapi persyaratan dan penyeleksian, dari ruang itu juga aku menerima berita kelulusanku.

Kami lantas diarahkan menunggu sepekan baru kembali masuk ke pondok dengan status sebagai santri.

Karena durasi waktunya cukup lama, aku dan bapak bergesas kembali ke rumah membawa berita bahagia.

Tibalah waktunya, aku memasuki pondok dan menjalani PENTAS (pekan ta’aruf santri) yang berlangsung satu pekan. Selama PENTAS, banyak peristiwa unik.

Beberapa santri terlihat riang gembira, sebagian lainnya tampak murung, galau merindukan orantua dan kehangatan keluarga. Begitupun denganku, bahagia bercampur rindu.

Yahhh…Anak yang diantar oleh Bapaknya beberapa tahun lalu itu telah hampir menyelesaikan pendidikannya. Sekarang aku sudah kelas tiga SMA, telah banyak suka dan duka menumpuk di sini.

Aku akan merindukan semua kenangan itu nantinya. Banyak pelajaran hidup dan pendewasaan diri yang aku peroleh baik dengan teman-teman, utamanya dari para guru atau Ustad.

Selepas dari sini, aku akan menghadapi wahana hidup baru dan menuju jenjang yang lebih menantang. Karena aku tahu, selama masih hidup akan ada ujian-ujian dari yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Rasulku, Muhammad SAW.
“وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥

“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar”.(*)

Oleh : Haikal Ahmad, Santri kelas XII SMA Al Bayan Islamic School Ponpes Hidayatullah Makassar



BACA JUGA