Kamis, 16 Februari 2023 | 06:19 Wita

Integrasi Ayat-ayat Qauliyah dan Kauniyah

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh: Dr Ir KH Abd Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Ada sebuah persoalan besar ummat Islam di Indonesia dan dunia Islam umumnya dalam masalah keilmuan saat ini, yaitu adanya kesenjangan bahkan pemisahan antara ayat qauliyah (wahyu alquran) dan ayat kauniya (alam semesta dan hukum alam).

Ayat kauniyah dipelajari dalam ilmu alam (ilmu umum) seperti matematika, fisika, kedokteran dan lainnya. Darimana kita mengetahui bahwa fenomena dan hukum alam sebagai ayat kauniyah. Tentunya hal itu dijelaskan dalam al quran.

Misalnya Allah ta’ala menjelaskan dalam firmanNya dalam Quran Surah Ali Imran ayat 190-191.

Informasi lebih lengkap, silakan kunjungi Virtual Office klik ➡️ https://wa.me/c/6285256097848

Surat Ali Imran Ayat 190-191

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Seorang dosen Fisika kami di Unhas Dr Abdullah Renreng mengutip dari gurunya Prof Abdul Salam yang merupakan satu-satunya ilmuwan Islam penerima Nobel, bahwa 2/3 ayat dalam quran menjelaskan ayat kauniyah dan 1/3 nya lagi tentang ayat qauliyah.

Pemisahan keilmuan yang mempelajari ayat qauliyah dan kauniyah ini merupakan persoalan fundamental yakni epistimologi atau filsafat ilmu.

Karena dari sanalah melahirkan pemisahan ilmu agama dan ilmu umum. Itu adalah kesalahan epistimologi atau metode keilmuan.

Kita terbelah pada spesialisasi keilmuan. Orang yang belajar agama merasa urusan dunia seperti ekonomi hingga politik bukan urusannya, mengaku bukan otoritasnya.

Sebaliknya orang yang belajar ilmu umum menganggap ini bukan urusan agama ini urusan dunia. Kita terbelah dan dengan bangga mengatakan demikian.

Demikian pula kita terbelah dan membedakan jenis sekolah yang yakni ada sekolah umum dan ada sekolah agama. Inilah kesalahan fundamental pada ilmu dan kesalahan dalam mendudukan ilmu.

Banyak pendapat untuk mengurai hal ini salah satunya pendapat dari seorang ilmuwan Malaysia pendiri Istek Malaysia Prof Nafif Alatas menjelaskan bahwa kesalahan epistimologis ini mulai dari apa yang disebut worldview atau cara pandang kita. (cara pandang seseorang mencangkup aspek batin dan aspek jasad (fisik), secara menyeluruh atas realita dan kebenaran). 

Ini (worldview) bukanlah istilah dari ulama tapi pertama digunakan seorang filosof dan pendeta Jerman Imanuel Khan. Prof Nafis Alatas meminjam istilah itu, bahwa worldview sebagai cara pandang kita terhadap kehidupan.

Bahwa apa yang dimaksud sebagai wujud/nyata dan realitas kehidupan menjadi rujukan kebenaran ilmiah. Prinsip keilmuan barat memandang bahwa yang dimaksud wujud/nyata adalah sesuatu yang mampu dijangkau oleh indra yakni benda atau sesuatu yang bisa dirasionalkan. Dari sanalah epistimologi Barat dibangun.

Sementara worldview Islam menjelaskan bahwa yang dimaksud wujud itu adalah segala sesuatu yang dijelaskan oleh alQuran. Realitas, wujud dan kebenaran yang dijelaskan alQuran. Sehingga malaikat itu wujud, jin wujud setan, surga dan neraka itu wujud, semua itu adalah kebenaran ilmiah.

Apa konsekuensinya dalam konteks epistemologi? Konsekuensinya ketika dibangun sebuah metodologi keilmuan maka bagi epistemologi Barat mengklaim bahwa segala sesuatu yang tidak rasional yang tidak empiris maka tidak bisa dijangkau ilmu atau bukanlah sesuatu yang ilmiah.

Padahal orang Barat misalnya Kristen juga beriman tapi mereka memisahkan kebenaran ilmiah dengan keyakinan. Inilah yang disebut sekularisme

Jadi di sini ada dua persoalan, satu yang tidak beriman pahamnya materialisme tapi yang beriman pun ini adalah sekularisme karena membedakan urusan agama dan urusan ilmu.

Inilah bedanya epistemologi Islam atau kebenaran ilmiah dalam Islam. Dalam Islam sumber kebenaran itu dalam Quran dan sunnah hadist sahih. Bisa menjadi sumber rujukan dari sebuah produk keilmuan Islam

Jadi dari sini sebenarnya akar persoalan yang kemudian sangat berbeda. Di surah Ali Imran di atas misalnya menjelaskan sangat luar biasa epistimologi Islam. Bahwa siapa itu Ulil Albab ?

Quran menjelaskan orang cerdas (ulil albab) yaitu orang yang senantiasa berzikir mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring yang merupakan posisi 24 jam aktivitas manusia.

Yang kedua ulil albab adalah seseorang yang senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi. Di sinilah ilmu kauniyah itu.

Sekaligus ayat ini langsung menggambarkan fakultas ilmu atau perangkat untuk mendapatkan ilmu. Bahwa dalam Islam untuk mendapatkan ilmu itu dengan zikir dan fikir. Ini langsung berbeda dengan Barat

Dalam Islam zikir akan melahirkan ilmu, bahkan ilmu yang sangat dahsyat. Jadi integrasi keilmuan dalam Islam adalah kesatuan zikir dan fikir.

Orang yang mencari ilmu dengan kesatuan zikir dan fikir inilah akan melahirkan sebuah kesadaran ilmiah melalui ungkapan

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Kita ambil contoh sarjana kimia yang dengan kesadaran epistemologinya sejak awal ketika mempelajari ilmu kimia, dia sadari betul sedang mempelajari ayat dan ciptaan Allah di alam semesta

Begitu dia mendalami lagi ilmu kimia maka akan temukan keteraturan yang sangat canggih maka kesadaran spiritualnya yakni zikir dan kesadaran rasionalnya yakni fikir menyatu dan akhirnya tiba pada kesimpulan “Ya Allah tidaklah engkau menciptakan ini sia-sia.”

Jadi seorang ilmuan dalam epistemologi Islam itu setiap kali bertambah ilmunya maka akan semakin kagum pada Allah dan semakin meningkat imannya, kagum pada Sang Pencipta ilmu dan realitas itu.

Bukan dia semakin sombong dan membanggakan dirinya bahwa dia adalah ilmuwan dia adalah penemu. Tapi dia akan semakin takut kepada Allah dan berdoa terhindarkan dari siksaan neraka.

Ayat ini (Ali Imran di atas) jelas sekali menjelaskan secara global bagaimana epistemologi Islam itu. Tentu pembahasan epistemologi lebih rinci bisa kita kembangkan di forum diskusi lainnya.

Contoh lain yang sangat menarik juga dalam quran tentang istilah ulama dalam surah Fatir ayat 28

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah (adalah) para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.

Ayat ini menjelaskan kriteria dan definisi seorang ulama yang merupakan sambungan dari uraian tentang fenomena alam.

Penyebutan ayat ini sebenarnya lebih dekat menjelaskan ulama itu seorang yang paham dan ahli ilmu alam (di fisika biologi) walau semua ulama sepakat tidak ada dikotomi ulama yang ahli teknologi dan ulama ahli al quran dan hadits.

Dulu pada masa kejayaan Islam sebenarnya menyatu pada diri ilmuwan muslim, dia ahli hadits juga sebagai ahli ilmu alam.

Sebagaimana bapak kedokteran Ibnu Sina yang kitabnya Al Qanun fi At Tibb diakui sebagai buku induk pertama tentang ilmu kedokteran modern, dan dia juga seorang penghafal quran sejak usia 10 tahun.

Contoh lain kita kenal Imam al Gazali, kita tahu dia seorang sufi besar yang juga mempelajari astronomi dan ilmu falak.

Mereka dua di antara deretan ilmuwan Islam, mereka semuanya memulai kepakarannya pada ilmu agama sejak kecil sudah hafal quran lalu belajar fiqih, matematika dan sebagainya. Nanti tergantung tingkat kecerdasannya pada tradisi keilmuan banyak ilmuwan Islam ahli semua bidang.

Ini menunjukan tidak ada dikotomi ilmu umum yang belajar ayat kauliyah dan ilmu agama yang pelajari ayat qauniyah.

*) Disarikan dari Kajian Ramadhan Ahad subuh 2 Mei 2021 di Masjid Sultan Alauddin Jl Prof Abdurahman Basalamah (Racing Center)



BACA JUGA