Senin, 13 Februari 2023 | 06:40 Wita

Bernostalgia di Wadi Barakah

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh: Ust Sarmadani, Ketua Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar (2019)

HidayatullahMakassar.com — Rumah itu jatuh dan rubuh, sebuah rumah kayu panggung, rumah Bugis, tersungkur di atas tanah. Ia diterpa angin kencang dan hujan, di kisaran Februari 2011 lalu.

Rumah yang rubuh itu, atapnya masih utuh. Rumah setengah jadi. Baru atap yang terpasang sempurna, papan lantai belum terpasang, baru terpasang rangkanya, balok penyanggah papan, dinding belum ada.

Atap rumah rubuh itulah yang kemudian digunakan untuk memulai pondok. Yang kemudian diberi nama rumah tenda.

Ustad Muhsin, almarhum, Ketua Yayasan Al Bayan waktu itu, berinisiatif kreatif. Pikirannya simple, atap rumah yang rubuh itu diangkat, kemudian ditambah tiang sekira satu meter. Atap di angkat sedikit demi sedikit, dengan dongkrak mobil. Akirnya, rumah yang rubuh itu bisa ditempati. Dari ruma itulah, cerita Ummul Qura dimulai.

***

Ini bukan cerita suka suka, derita nestafa saja. Atau sekadar curhat, atau nostalgia mengenang perjalanan lama. Ini kisah tentang perjuangan mewujudkan asa, ide, cita-cita untuk membuat sebuah pondok pesantren. Sebuah kampus, miniatur peradaban Islam di pinggiran hutan belantara Maros.

Adalah perintisan kampus Pondok Tahfidz Ummul Qura, Hidayatullah Tompobulu Maros, yang terletak di Dusun Arra, Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Dari sini ceita itu dimulai. sejak akhir 2010, 14 tahun lalu.

Di awal perintisan, untuk sampai di kampus ini, harus menggunakan mobil 4 WD, mobil double cabin dengan double handel. Untuk mencapainya ditempuh dengan waktu 2 jam lebih dari BTP.

Saat ini, cukup dengan 40 menit. Dulu, jalan bergelombang, sekarang semua sudah di beton, hingga di depan masjid. Alhamdulillah. Dulu, seakan mimpi belaka, kini bisa jadi nyata.

Sejak 2014, Ummul Quro dimerger dengan Yayasan Al Bayan, dengan pertimbangan matang dari badan pembina. Al Bayan dan Ummul Quro, akhirnya satu dibawah naungan Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar.

Hari ini, 12 Februari 2023, saya bersama Suwito Fatah, Ketua Yayasan Al Bayan, dan Jumaruddin, Sekretaris Yayasan Al Bayan, ditemani para bocil masing-masing, Kami menghabiskan siang itu di kawasan Wisata Wadi Barakah. Sebuah kawasan pengembangan dari kawasan Pesantren Ummul Qura Hidayatullah Tompobulu.

Kami tiba di lokasi Tahfidz Ummul Quro, saat pagi menjelang siang. Jam 9 lebih. Suasana adem. Tidak panas tidak hujan, mendung 25%. Berbekal kopi arabica, mi gelas, biskuit, dan air mineral. Kami mencoba bernostalgia, tentang kisah-kisah lalu, di sebuah gasebo yang baru jadi, di lembah barokah Ummul Quro.

“Rencana, kita akan buat tempat pertemuan di sini, akan ada 10 rumah, 1 aula, 1 masjid, dan camping area” ungkap Pak Ketua.

“Kita persiapkan untuk menjadi tuan rumah, pertemuan kampus utama tahun depan, kami butuh anggaran, sekitar Ro 1,5 milyar”, tambah beliau bersemangat. Itulah rencana besar Ketua Yayasan Al Bayan, tahun 2023, di Pucak.

Belum lagi kampus yang di Makassar, BTP. Pak Ketua Yayasan, beserta stafnya, punya impian besar mewujudkan Al Bayan Islamic School menjadi sekolah unggul dan berkarakter. Semua itu dikerja, hanya dengan “modal” amanah.

Di Al Bayan, sekarang mulai berdiri bangunan sekolah lantai dua dan tiga mulai di sana sini. Wajah kampus didesain menjadi cantik, dengan warna khas, coklat muda dan kream muda. Mengikuti warna padang pasir di Timur Tengah.

Keindahan kedua kampus ini Al Bayan di Makassar dan Ummul Quro di Pucak Maros, tak lepas karena keberadaan arsitek ternama, Ir Muaz Yahya. Bahkan beliau sendiri terlibat menjadi Ketua Proyek Wadi Barakah, sebuah rancangan wisata rohani, di alam terbuka Ummul Quro.

Pak Ir Muaz Yahya pun tidak sendiri. Ada wartawan senior Ir Firmansyah Lafiri, yang mendampinginya. Pak Insinyur Wartawan sana sini, yang suka mandi-mandi di sungai Wadi Barakah.

Di Al Bayan, juga sudah hadir STAI Al Bayan, sebuah perguruan tinggi, yang dimaksudkan untuk mencetak kader-kader tanaga pendidik di Hidayatullah. Keberadaan STAI ini, tidak lepas dari peran Pak Doktor Irfan Yahya, yang sejak awal berjibaku membuat proposal pendirian STAI, hingga sekolah tinggi ini bisa berwujud hingga saat ini.

***

Siang itu, saya yang bertiga, baru menempati gazebo yang baru jadi, di pinggiran sungai Wadi Barakah, bercerita banyak tentang nostalgia masa lalu, dan mimpi-mimpi masa depan. Tentang Hidayatullah, Al Bayan, Ummul Quro, Wadi Barakah, dan semua muanya.

Suasana cerita semakin jadi, karena hujan yang datang usai sholat Dzuhur. Kopi Arabika dan Pop Mie menjadi santapan siang itu, menemani asyiknya bercerita tentang masa lalu dan masa depan.

Di Hidayatullah, dengan tugas dan amanah yang berat mungkin, kadang kita seperti bermimpi di siang hari. Mau ini dan itu, pengadaan ini dan itu. Rencana sana dan sini. So, terasa begitu banyak program, juga proyek. Padahal kita tidak punya uang sumber daya insani ala kadarnya. Tapi itulah tugas, amahan dan tanggung jawab yang harus kita emban.

Sebelum saya tutup, sedikit nostalgia, dulu, di samping rumah yang rubuh, rumah tenda itu, ada sebuah pohon mangga, yang sangat kecut buahnya. Meski demikian, tidak pernah rasanya ada buah manga itu yang bertahan sampai matang.

Saya dan Pak Ketua Yayasan, pernah shalat malam bareng di bawah pohon mangga tersebut. Saat shalat, tiba-tiba ada halimun atau kabut yang datang menyelimuti. Rasanya, di sepertiga malam waktu itu seperti kami sholat di atas awan.(Abu Fathun Mubarak)