Sabtu, 11 Februari 2023 | 13:17 Wita

Daengku, Karaengku, Ustadku,
KH Jamaluddin Nur,
Maha Guru Kehidupanku

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh: Irfan Yahya, Pengurus Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Entah mengapa hingga terbit fajar hari ini, jari jempol tangan saya seakan kaku tak sanggup menekan satu persatu huruf pada keyboard Hp androidku, merangkai kalimat, memutar ulang memori kenangan bersama seorang sosok panutan yang sejak kemarin siang ba’da shalat Jum’at mendadak dikabarkan telah berpulang ke rahmatullah.

Setiap ingin memulai menulis, dadaku terasa sesak menyusul kedua bola mata terasa hangat dan akhirnya tak dapat membendung buliran air mata antri jatuh menetes membasahi pipi.

Daengku, Karaengku, Ustadku itulah sapaan yang kerap saya gunakan menyapa beliau jika berjumpa, entah itu berjumpa langsung atau lewat telpon maupun chat WA.

Tidak cukup dengan sapaan akrab itu, kerap kususul dengan kalimat candaan: Gue banget neeh, mendengar itu sontak seketika sosok itu menimpali dengan tawa lepas dan candaan khas yang membuat semua orang merasa cepat akrab.

Jamaluddin Nur, demikianlah nama aslinya. Saya mengenalnya beberapa tahun setalah saya bersama isteri memutuskan hijrah dan menetap mukim di kampus Al Bayan Hidayatullah Makassar, BTP puluhan tahun silam, cuman belum terlalu akrab karena ketemunya di sela-sela acara ketika itu masih sering mendampingi ustad Aziz Qahhar menjalankan amanat konstitusinya sebagai Senator di Senayan.

Saya mulai intens dan akrab dengan beliau lima tahun lalu, ketika awal-awal mengemban amanah sebagai Ketua Tim Pokja Pendirian Perguruan Tinggi di kampus Al Bayan BTP yang kemudian diberi nama STAI Al Bayan.

Atas arahan ustad Aziz, saya pun sering berkonsultasi seputar kiat dan teknis pendirian perguruan tinggi Hidayatullah. Dapat dimaklumi jika berbicara perguruan tinggi di Hidayatullah, reputasi Hidayatullah Batam di bawah komando langsung ustad Jamal boleh dibilang sangat spektakuler karena mampu menghadirkan tiga perguruan tinggi, STIT Hidayatullah Batam, STIT Al Mumtaz Karimun dan Institut Agama Islam (IAI) Abdullah Said Batam.

Tentu ini menjadi legacy dan bagian dari salah satu ladang jariyah bagi ustad Jamal Rahimahullah.

Atas undangan beliau, tahun 2019 saya ditakdirkan berkunjung ke kampus Hidayatullah Batam masih dalam rangka urusan legalitas tiga prodi yang dibuka di STAI Al Bayan, ketika itu status saya sudah sebagai ketua STAI Albayan sesuai amanah dari lembaga.

Moment itu juga turut bergabung kawan dari Hidayatullah Samarinda, Ustad Iswandi, urusannya sama, merintis perguruan tinggi Hidayatullah di Samarinda. Walaupun hanya beberapa hari di Hidayatullah Batam, tepatnya di kampus Hidayatullah Batu Aji, namun luar biasa dalam kesan yang saya tangkap dari beliau.

Cara beliau memuliakan kami sebagai tamu, nasehat dan wejangannya, sungguh sangat khas dan sulit untuk melupakannya.

Beberapa jam sebelum saya diantar ke bandara untuk balik ke Makassar, beliau sempat menelpon dan mengundang saya secara khusus silaturrahim ke rumahnya, sebuah komplek yang berhadapan langsung dengan lokasi kampus Hidayatullah Batu Aji. Ke sanalah saya diantar ustad Ashari, santri alumni Al Bayan yang sudah berkeluarga dan menjadi dosen muda di STIT Hidayatullah Batam.

Kami berdua dipersilahkan masuk melalui pintu samping yang langsung mengakses ruang tengah rumah beliau, suasananya jadi cair, atmosfir ruang tengah itu membuat perasaan seperti berada di rumah keluarga sendiri. Mungkin akan beda jika berada di ruang tamu pada halaman depan rumah.

Suguhan kopi Radix dan aneka kudapan kue segera menyusul keluar yang diantarkannya langsung, sembari duduk menghampiri, beliau lalu memberi nasehat-nasehat berupa spirit perjuangan dalam menapaki riak riuh dalam menjalankan amanah di lembaga perjuangan ini. Tentu wejangannya syarat dengan muatan manhaj Sistematika Wahyu.

Setelah merasa cukup dengan wejangan, beliau kemudian beranjak masuk ke kamar dan keluar menenteng sejumlah barang yang siap ditawarkan kepada saya sesuai selera.

Barang yang ditenteng berupa sepatu kerja, beberapa jam tangan, jas, batik dan karena beliau tahu kalau saya gemar main badminton, maka beliau pun menawarkan sejumlah raket untuk saya bawa pulang sebagai buah tangan dari beliau. Bagi pecinta batu permata, juga tersedia banyak cincin batu permata. Sayangnya saya dari dulu tidak senang memakai cincin.

Barang tersebut kemudian saya pilih satu persatu sesuai selerah saya, saya coba pakai dan setelah merasa cocok dan pas di badan, saya lansung bilang ke beliau “Gue bangeet neeh”. “Allee ngasengmi deh, kaa gue baget ngaseng andjo (ambil semua sudah, karena barang bagus semua itu)” timpal beliau dengan gaya khasnya.

Dari sini pulalah kalimat caandaan saya ke beliau, “Guee banget neeh” asal muasalnya dan sudah menjadi “kode rahasia” dari saya jika bertemu beliau dan minta sesuatu. Kebiasaan memberikan hadiah kepada orang sudah menjadi kebiasaan tersendiri yang dikenang oleh banyak orang yang pernah berinteraksi dengan beliau.

KH Jamaluddin Nur, merupakan sosok panutan bagi kader Hidayatullah, bahkan dalam ta’ziyahnya Bapak Pemimpin Umum, KH Abdurrahman Muhammad Hafizahullah menyebutkan bahwa sosok KH Jamaluddin Nur adalah sosok yang khas dan unik yang tidak ada duanya di Hidayatullah.

Daeng Jamal bagi kami yang ditakdirkan baru belakangan gabung dalam jama’ah Hidayatullah ini, bukan hanya sebagai panutan, beliau juga adalah sosok pengayom dan kadang dijadikan sandaran “empuk” jika sedang menghadapi sebuah masalah. Kerap jika saya sudah kepepet bayar tagihan UKT dari kampus, beliaulah menjadi salah satu tempat saya mengadu dan memohon bantuan.

Sebuah pengalaman spiritual mendalam bagi saya ketika sedang bergelut dan berjuang menyelesaikan studi doktoral saya di Unhas, ketika suatu masa terjadi “turbulensi” yang menghiasi perjuangan tersebut. Oleh beliau menyarankan agar saya ke Batam sementara waktu, biar dapat konsentrasi menulis disertasi saya. “Dinda ini butuh ‘suaka tempat’ yang kondusif untuk rileks, sehingga bisa fokus menyelesaikan disertasinya, ke Batam maki Dinda”, demikian nasehat tegas beliau saat menelpon ke saya.

Alhamdulillah, medio April 2021 dengan fasilitas yang beliau berikan, saya pun memutuskan berangkat ke Batam, mengikuti nasehat dan tawaran beliau tersebut, saya boyong sejumlah buku yang menjadi rujukan utama dalam penelitian disertasi saya.

Sayangnya sangking banyaknya dan pihak maskapai penerbangan sudah menyatakan bagasi saya over load dan akan dikenakan biaya tambahan jika tetap ingin membawanya. Casnya lumayan mahal, melebihi harga tiket pesawat ke Batam. Akhirnya saya sortir ulang tumpukan buku tebal tersebut sehingga berat bawaan bagasi saya tidak melebihi 20 kilo.

Hampir setengah dari hasil sortiran tersebut saya titip ke Kepala Security Bandara Internasional Hasanuddin. Seorang bapak yang baik hati, lebih tua dari saya dengan tulus menawarkan buku tersebut dititip di ruang kerjanya dan meminta nomor Hp keluarga yang bisa beliau hubungi untuk datang menjemput barang tersebut. Karena sudah sangat mepet waktu untuk segera masuk pesawat, segera saya diktekan nomor Hp istri saya dan bergegas naik ke lantai dua lansung menuju pesawat yang sebentar lagi take oof.

Tiba di bandara internasional Hang Nadim Batam saya dijemput ustad Siddik, Rektor IAI Batam dan Akh Majid, asli santri Al Bayan yang baru saja mendapat amanah baru di Hidayatullah Batam.

Sebelum ke pondok, kami mampir isi perut di sebuah warung di kawasan pusat perbelanjaan, dikenal dengan kawasan Apiary yang letaknya tak jauh dari pondok. Menunya pariatif, namun yang paling rekomended untuk dicicipi sebagai menu khas Batam adalam sup ikan tenggiri, rasanya sungguh makyos menggugah selera.

Belakangan baru tahu kalau warung ini menjadi tempat favorit ustad Jamal menjamu para tamunya, selain itu ada lagi satu warung makan yang berada pas di bibir pantai, menyediakan aneka masakan sea food. Makan di warung ini memberikan sensasi suasana yang berbeda karena sambil makan kita dapat memandangi negara tetangga Singapura dengan deretan gedung tinggi di seberang lautan tempat kita makan. Selama berada di Batam, ustad Jamal Rahimahullah sempat beberapakali mengajak saya makan di warung tersebut.

Di pondok rupanya sudah disiapkan satu kamar khusus buat saya di lantai satu Wisma Hidayatullah Batam. Setelah bersih-bersih badan, ustad Jamal datang menyapa, salaman, memelukku sembari cipaka, cipiki dan berkata: “Salamakki Dinda, tugas utamamu datang ke sini harus fokus selesaikan disertasimu, tidak usah ke mana-mana, jika ada kebutuhan silahkan kontak Majid, saya sudah tugaskan khusus ke dia”.

Kurang lebih sepuluh hari saya memilih mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk shalat jama’ah di masjid pondok, saya melimih qiyamullail di kamar sembari duduk manis depan laptop, bergelut dengan setumpuk referensi utama disertasi saya, menulis ulang dan mengolah file rekaman hasil wawancara saya dengan sejumlah ustad pendiri dan perintis Hidayatullah Sulawesi, khususnya Al Bayan BTP. Dan alhamdulillah rentang waktu itu, saya berhasil merampungkan tiga bab disertasi saya, bab satu pendahuluan, bab dua kajian Pustaka dan bab tiga metode penelitian.

Jika bad mood menyerang, sesekali keluar cari angin keluar pondok sambil menikmati suasana kota Batam, bahkan sampai ke Nagoya, pusat kota Batam yang lumayan jauh dari Batu Aji. Pas juga ada teman seangkatan waktu kuliah S1 di Teknik Kimia UMI, yang sudah lama mukim di kawasan Nagoya, yang ngajak jalan-jalan. Dia juga cukup kenal kiprah Hidayatullah Batam dan akrab sama ustad Jamal, bahkan masih ada hubungan keluarga karena asalnya sama dari Jeneponto. Selain memiliki sejumlah usaha di Batam, dia juga mendirikan SMK yang kemudian dia sulap menjadi Pesantren Kejuruan.

Hingga masuk malam pertama bulan Ramadhan tahun 2021, mengingat masa berlaku surat izin penelitian disertasiku dari PTSP Pemprov Sulsel segera berakhir dan masih ada beberapa data dan pihak yang saya harus temui untuk mengkonfirmasi dan melengkapi dataku, maka saya izin pamit ke ustad Jamal untuk balik ke Makassar dan beliau kembali memberi nasehat dan wejangan, spirit perjuangan berbasis manhaj di ruang tengah kediaman beliau, kali ini saya ditemani Akh Majid. Dan sama seperti biasanya, candaan “Gue banget neeh” kembali aku lontarkan, dan alhamdulillah, jam tangan, raket badminton, jas, tas kerja beliau berikan untuk saya bawa pulang sebagai oleh-oleh dari beliau.

Komunikasi kami terus berlanjut walau lewat candaan dan sendagurau yang kerap saban hari beliau kirim lewat chat WA. Hingga kami kembali ditakdirkan berjumpa fisik dengan beliau saat berkunjung ke Makassar bersama isterinya.

Alhamdulillah seharian mendampinginya dengan serangkaian aktivitas dan beberapa kolenganya. Dan itulah perjumpaan lansung terakhir saya sama beliau, hingga kabar duka itu datang menghampiriku.

Dua bulan lalu, beliau menyempatkan diri menelpon menayakan kabar saya, “Apa seng antu mae Dinda Doktor, antekamma kulle, isbirr, issbir, issbir Dinda. (apa lagi gerangan ini Dinda Doktor, kenapa bisa, sabar, sabar, sabar?)” demikian beliau mencoba menelisik kabarku yang mungkin beliau sempat dengar saat itu. Saya hanya menimpali dengan mohon dido’akan agar tetap istiqomah berjuang di lembaga perjuangan ini, walaupun harus terpaksa memilih untuk sesaat berada pada zona “rest area”.

Selamat jalan Daengku, Karaengku, Ustadku, Guru besar kehidupanku. Insya Allah engkau syahid, dipanggil ke sisih Allah Swt sebagai salah satu sosok mujahid sejati Hidayatullah. cukup berasalan jika sangat cemburu kepadamu.

اَللهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَاَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرْدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارًاخَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلاً خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَاَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَاَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَتِهِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

*) Halaman Bekang Bontoramba, 11 Februari 2023