Jumat, 18 November 2022 | 14:08 Wita

Mengapa Bangga dengan Hidayatullah ? Bag 2

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar
Share

Oleh : Ust Dr H Abd Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Dewan Pertimbangan Hidayatullah dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Mengapa setelah iman dan Islam, kemudian kita syukuri adanya manhaj dan kita berjamaah di Hidayatullah ? Karena dengan manhaj dan berjamaah telah memudahkan kita memahami dan menerapkan ajaran Islam.

Karena manhaj Sistematika Wahyu (SW) Hidayatullah ?memiliki dua dimensi yakni SW sebagai konsep dan SW sebagai praksis atau dalam peragaan. Belakangan DMP (Dewan Murabbi Pusat) menyebutkan tiga, yakni SW sebagai materi tarbiyah.

Kelengkapan bagian mutlak SW adalah praksisnya. Tanpa peragaan maka SW sebagai konsepsi adalah nonsens. Demikian pula sebaliknya, ibarat SW sebagai konsep dan preaksis sebagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi.

Dengan SW kita rasanya lebih mudah berIslam, memahami dan menerapkannya pada diri pribadi dan keluarga. Walaupun tentunya SW secara konsepsi masih banyak PR (pekerjaan rumah) untuk dirumuskan dan diterapkan, seperti bagaiaman SW dalam politik dan ekonomi.

Soal jamaah. Implikasi dari konsep SW memutlakkan adanya jamaah dan kepemimpinan. Sebab dalam Islam, kepemimpinan itu dimulai kapan sejak wahyu pertama diturunkan. Ketika Khadijah, Abubakar dan Ali radiyallahu anhu menerima dakwah Rasulullah, di situ langsung menjadi jamaah, langsung ada ketataan kepada kepemimpinan Rasulullah.

Jamaah secara konsepsi dan praksis ini benar-benar kita nikmati juga. Dalam Quran dan hadits memerintahkan betapa mutlaknya berjamaah sebagai sunatullah qauniyah, insyaniyah dan secara syarih.

Semua mahkhluk berjamaah hingga planet dengan galaksinya berjamaah. Seandainya ikan tak berjamaah, susah kita makan ikan teri. Inilah jamah secara alamiah.

Kekuatan jamaah menenangkan bathin kita apalagi ada perintahnya dalam wahyu. Hidayatullah menerjemahkan diri sebagai Jamaahtul minal muslimin.

Berjamaah kita di Hidayatullah didukung dengan keberadaan pemimpin. Saya pribadi menyenangi dan bersemangat berHidayatullah karena memiliki dua pemimpin (Ust Abdullah Said dan Ust Abdurahman Muhammad). Dua pemimpin yang banyak mendapatkan hidayah dan tercerahkan ajaran Islam dan sangat bisa memberi motivasi kita berIslam, sekaligus mengontrol. Dalam batas tertentu sangat patut kita teladani.

Saya orang Hidayatullah paling banyak di luar karena urusan politik. Namun tak pernah goncang dengan pergaulan dunia luar, setelah yakin dengan kebenaran Islam dan perjuangan di Hidayatullah.

Betapa mahalnya bergaul dengan orang Hidayatullah dan memiliki pemimpin. Ini merupakan kekuatan jamaah dan manhaj. Kalau tak ada itu mungkin saya bisa hilang selama tiga periode di Senayan (sebagai anggota DPD RI dari Sulsel).

Misalnya periode pertama saya bisa hilang dengan membeli dan memiliki rumah di luar pondok. Tapi kami tetap pertahankan rumah di pondok karena saya memerlukan lingkungan sebagai kontrol yang kuat.

Namun sejak 2000 Hidayatullah menjadi ormas, kader sudah tak harus tinggal di pondok. Yang penting ia tertarbiyah dan taat dalam kepemimpinan.

Kita juga tidak bingung mau kerja apa untuk Islam dan bagaimana menjadi orang Islam yang baik. Semua sistem berjamaah kita yang diatur dan tertuang di Jati Diri, peraturan dasar organisasi (PDO) dan peraturan organisasi (PO) semua konsep itu mengantarkan kita sebagai muslim yang baik. Tinggal kita saja menyesuaikan konsep dan regulasi di Hidayatullah.

Jati Diri Hidayatullah tentu masih banyak kekurangan tapi sudah memadai untuk keIslaman kita dan tercerahkan dari keilmuan dan bisa kita lakonkan. Pada PDO berorganisasi ada struktur dan amanah di lembaga ini, semua sangat jelas. Program-programnya sangat luar biasa untuk menjadi lahan kita beramal.

Kalau secara syar’ih sangat jelas di keseharian seperti keharusan kader Hidayatullah menunaikan shalat berjamaah, lalu aktivitas bersosial semuanya ditegaskan dengan mainstream gerakan tarbiyah dan dakwah.

Jadi jika kita konsisten dengan konsep dan regulasi Hidayatullah, kita ini tidak ada gerakan sumbang, tidak ada gerakan yang sia-sia dan idak ada waktu santai selain mewujudkan visi tegaknya peradaban Islam.

Lembaga semua sudah menyiapkan, tinggal betul-betul kita mengindahkan dan paham untuk menjadi muslim yang baik. Bahkan bisa diimprovisasi secara lebih khusus untuk peningkatan kapasitas spiritual.

Jika saat masa ustad Abdullah Said konsep spiritual Hidayatullah itu Al Muzamil maka saat ini diperkuat dengan GNH (Gerakan Nawafil Hidayatullah, menunaikan amalan sunah harian) yang saya sebut sebagai al Muzamil plus.

(Perintah Allah ta’alla dalam surat Al Muzamil sedekah diantaranya berupa shalat lail, membaca quran, zikir, zakat dan sedekah)

Dengan GNH spiritual kita akan sangat luar biasa jika kita konsisten apalagi diimprovisasi (dengan amalan sunah utama lainnya) bisa-bisa menjadi “sufi” dan saat yang sama menjadi powerfull pada kegiatan sosial.

Jika semua ini bisa kita laksanakan dengan baik maka akan memadai keislaman secara pribadi. Karena semuanya sudah terstruktur dan terukur. Banyak ajaran Islam jika kita tak berjamaah seperti di Hidayatullah maka tak akan mampu laksanakan dengan baik.

Misalnya melaksanakan konsep syura (bermusyawarah). Di Hidayatullah perintah syura benar-benar kita serius laksanakan. Wujudnya semua regulasi kelembagaan merupakan hasil syuro. Tanpa syuro secara baik tak akan mampu hasilkan konsep dan regulasi. Maka jangan pernah lecehkan PDO dan lainnya karena merupakan hasil amalan syariat yakni syuro.

Di Hidayatullah tak ada orang yang ngotot agar pendapatnya diterima apalagi sampai berkelahi karena pemahaman dan pelaksanaan dari syariat syuro dan ketaatan pada kepemimpinan. Wallahuallam. (fir/habis)

*) Disarikan dari kajian virtual Kamisan DPW Hidayatullah Jakarta, Kamis (17/11/2022)



BACA JUGA