Senin, 11 Juli 2022 | 20:27 Wita

Berkurban, Aktualisasi Taqwa Cinta Syukur dan Ketaatan

Editor: Firman
Share

Oleh : Ust Dr Ir H Abd Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah kampus utama Makassar

HidayatullahMakassar.id — Idul Adha adalah hari kita kumandangkan kemerdekaan diri kita dari segala bentuk penyembahan dan perbudakan selain kepada Allah, termasuk perbudakan kepada hawa nafsu kita sendiri.

Tidak ada yang membelenggu kehidupan kita selain kekuasaan Allah. Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabbil Alamin. Kita perkuat komitmen bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Inilah kenikmatan dan kebahagiaan hakiki, kenikmatan yang sebesar-besarnya. Tidak
ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan kemerdekaan dari segala bentuk
perbudakan kecuali menjadi hamba Allah.

Bisa jadi selama ini kita diperbudak oleh
materi atau harta. Bisa jadi kita diperbudak oleh jabatan. Bisa jadi kita diperbudak oleh
karier atau perkejaan. Bisa jadi kita diperbudak oleh rezim kekuasaan.

Inti dari semua itu adalah kita diperbudak oleh hawa nafsu kita sendiri, sebagaimana telah disinggung dalam quran

اَفَرَءَيۡتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلۡمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمۡعِهٖ وَقَلۡبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً  ؕ فَمَنۡ يَّهۡدِيۡهِ مِنۡۢ بَعۡدِ اللّٰهِ‌ ؕ اَفَلَا تَذَكَّرُوۡنَ

“Maka pernakah kamu melihat orang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkan sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”. (QS: Al-Jatsiyah: 23)

Hari ini kita nyatakan kemerdekaan dari segala bentuk perbudakan. Kita nyatakan
Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Selain Allah itu kecil. Harta itu kecil. Jabatan itu kecil.
Pangkat itu kecil. Pekerjaan itu kecil. Ras itu kecil. Golongan itu kecil. Organisasi itu
kecil. Partai itu kecil. Yang besar hanya Allah.

Semua hal yang kecil tersebut hanya akan
bermakna dan menjadi penting jika berjalan seiring dengan petunjuk Allah, digunakan
di jalan dakwah, atau untuk membesarkan agama Allah SWT. Semua itu dapat dijadikan
alat menuju atau mencari ridha Allah.

Peristiwa pengorbanan Ibrahim dan Ismail adalah peristiwa sejarah teragung sepanjang sejarah peradaban manusia dalam kaitan dengan ujian keimanan kepada Allah SWT.

Betapa tidak. Nabi Ibrahim meninggalkan Ismail kecil ketika masih berstatus sebagai bayi. Perintah Allah dan panggilan dakwah di tempat lain menyebabkan Ibrahim harus meninggalkan Ismail bersama ibunya Siti Hajar di tempat
yang tandus dekat Ka’bah di Makkah.

Isteri Ibrahim, Siti Hajar, dengan galau dan penuh keheranan mengapa Ibrahim begitu
“tega” meninggalkan isterinya bersama putranya yang masih bayi di tempat tandus, yang sangat sulit mendapatkan makanan dan minuman walau hanya untuk kebutuhan hidup.

Tapi setelah mendapatkan keterangan bahwa tindakan tersebut dilakukan Ibrahim karena perintah Allah, maka dengan berat hati Siti Hajar pun dengan ikhlas atau pasrah menerimanya.

Ibrahim baru datang kembali setelah anaknya Ismail beranjak menjadi remaja dan pemuda yang tampan. Disinilah kemudian puncak drama keimanan dan ketauhidan ujian pengorbanan keluarga tauladan ini.

Ibrahim sebagai ayah yang puluhan tahun meninggalkan anaknya sejak ketika masih bayi, dan Ismail sebagai anak yang sudah remaja beranjak menjadi pemuda yang baru kali ini bisa mengenal langsung wajah bapaknya, bukannya mereka menghabiskan waktu pertemuan ini untuk bersendagurau, rekreasi atau bersenang-senang melepaskan kerinduan.

Di tengah kebahagian keluarga, yaitu bapak, anak dan isteri, yang masih sedang melepaskan kerinduan dari perpisahan dalam waktu yang sangat panjang, tiba-tiba Nabiullah Ibrahim bermimpi mendapat perintah untuk menyembelih putranya Ismail.

Dapat dibayangkan, hati seorang ayah mana yang tidak akan goncang mendapat perintah menyembelih anaknya. Dan anak mana yang rela disembelih ayahnya. Apalagi seorang ayah yang meninggalkan anaknya sejak bayi dan baru datang ketika anaknya sudah menjadi pemuda, tiba-tiba menyampaikan akan menyembelihnya.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعۡىَ قَالَ يٰبُنَىَّ اِنِّىۡۤ اَرٰى فِى الۡمَنَامِ اَنِّىۡۤ اَذۡبَحُكَ فَانْظُرۡ مَاذَا تَرٰى‌ؕ قَالَ يٰۤاَبَتِ افۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ‌ سَتَجِدُنِىۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيۡنَ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu”. ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS: Ash-Shaaffaat: 102).

Tapi ujian yang sangat berat ini dapat dilewati dengan mendapatkan nilai mumtaz atau
sempurna oleh kedua orang bapak dan anak ini. Ketika Ibrahim menyampaikan kepada
Ismail bahwa ia mendapat perintah menyembelih Ismail, maka tidak sedikitpun rasa
penentangan dan keraguan dalam diri Ismail.

Ia dengan rela dari dalam lubuk hati yang paling dalam berucap, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”.

Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya
atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah), lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu”. sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS: Ash-Shaaffaat: 103-105).

Inilah drama peragaan kesempurnaan iman dan ketaatan dari hamba kepada Tuhan-Nya. Dua orang hamba yang telah teruji untuk mengorbankan apa yang paling berharga dan paling dicintai dalam hidup, yaitu anak tercinta bagi Ibrahim, dan jiwanya sendiri untuk Ismail.

Di puncak pengorbanan, keimanan dan ketaatan mereka, dalam sekejap Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba menjadi sembelihan.

Itulah makna pengorbanan. Bahwa pengakuan atau persaksian keimanan harus dibuktikan dengan pengorbanan, baik jiwa maupun harta. Tapi tentu saja korban jiwa bagi kita bukan dengan menyembelih anak, tapi kesiapan berkoban dengan seluruh pikiran dan tenaga kita, bahkan seandainya pun itu harus merenggut jiwa, demi menegakkan keimanan pada diri kita, atau demi tegaknya ajaran Islam dalam kehidupan kita, baik dalam skala pribadi, keluarga ataupun masyarakat.

Demikianlah juga dengan pengorbanan harta. Kecintaan kita kepada Allah salah satu wujudnya yang paling nyata adalah kita senantiasa rela menyerahkan harta kita di jalan Allah, baik dalam keadaan harta kita lapang ataupun sempit.

Ada satu surat terpendek dalam al-Qur’an yang paling relevan dengan momentum dan peristiwa hari ini, yaitu surat Al-Kautsar. Melalui surah ini Allah SWT mengingatkan tentang berbagai kenikmatan yang diberikan Allah dan implementasi kesyukuran atas pemberian nikmat tersebut, yaitu shalat dan berkurban.

Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang- orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. (QS: Al-Kautsar: 1-3)

Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa nikmat adalah setiap kebaikan, kelezatan, kebahagiaan, bahkan setiap keinginan yang terpenuhi. Meskipun demikian, kata Al-Ghazali, nikmat sejati adalah kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi.

Terhadap nikmat Tuhan, baik yang berupa nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi, nikmat lahir maupun bathin, jika dihitung tak akan pernah ada yang dapat menghitungnya, apalagi memperhitungkannya.

Allah berfirman:
وَاِنۡ تَعُدُّوۡا نِعۡمَةَ اللّٰهِ لَا تُحۡصُوۡهَاؕ اِنَّ اللّٰهَ لَـغَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ‏

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS: An-Nahl: 18)

Sepintas kita coba memperhatikan anggota tubuh kita yang nampak dan penting-penting saja; kaki, tangan, perut, mulut, mata, telinga, dan hidung. Semua anggota tubuh tersebut merupakan instrumen lengkap yang dapat bergerak otomatis, bergerak dan berfungsi serentak dalam waktu bersamaan.

Mata sambil melihat, mulut berbicara, telinga bisa mendengar, hidung mencium, sedang kaki sambil jalan serta tangan bergerak. Instrumen itu bergerak atas perintah otak yang tersambung melalui syaraf-syaraf halus ribuan kilometer panjangnya.

Betapa luas kekuasaan dan ilmu Allah, dan
betapa terbatasnya pengetahuan manusia untuk menjangkaunya. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman
وَاللّٰهُ اَخۡرَجَكُمۡ مِّنۡۢ بُطُوۡنِ اُمَّهٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ شَيۡـــًٔا ۙ وَّ جَعَلَ لَـكُمُ السَّمۡعَ وَالۡاَبۡصٰرَ وَالۡاَفۡـِٕدَةَ‌ ۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur”. (QS: An-Nahl: 78)

Allah telah menjadikan tiga alat indera paling vital bagi manusia, yaitu mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, serta akal dan hati untuk berpikir dan merasa. Dengan ketiga alat tersebut manusia terus berjuang mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya.

Dengan ketiga alat tersebut manusia akhirnya
berkemampuan untuk memanfaatkan alam semesta untuk menjadi alat pendukung
kehidupannya.

Allah berfirman, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS: Yaasin: 33-35)

Manusia yang telah dilengkapi dengan mata, telinga dan akal budi diharapkan bisa bersyukur kepada-Nya. Orang yang tidak tahu berterimakasih itu sesungguhnya derajatnya tidak lebih baik dari binatang.

Derajat mereka lebih hina dan rendah karena
tidak menggunakan matanya untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah, tidak menggunakan telinga untuk mendengar ayat-ayat Allah dan tidak menggunakan akal pikiran dan perasaannya untuk berterimakasih kepada-Nya.

وَلَـقَدۡ ذَرَاۡنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيۡرًا مِّنَ الۡجِنِّ وَالۡاِنۡسِ‌ ‌ۖ لَهُمۡ قُلُوۡبٌ لَّا يَفۡقَهُوۡنَ بِهَا وَلَهُمۡ اَعۡيُنٌ لَّا يُبۡصِرُوۡنَ بِهَا وَلَهُمۡ اٰذَانٌ لَّا يَسۡمَعُوۡنَ بِهَا ؕ اُولٰۤٮِٕكَ كَالۡاَنۡعَامِ بَلۡ هُمۡ اَضَلُّ‌ ؕ اُولٰۤٮِٕكَ هُمُ الۡغٰفِلُوۡنَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-
ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS: Al-
A’raf: 179)

Berterimakasih kepada Allah harus dinyatakan serentak dalam satu tindakan yang melibatkan tiga instrumen sekaligus, yaitu hati, lisan, dan perbuatan. Hatinya harus terpaut dengan cinta yang mendalam kepada Allah, lisannya mengucapkan alhamdulillah, serta anggota tubuhnya menunjukkan ketaatan dalam melaksanakan syari’at-Nya.

Allah tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun dari ucapan syukur kita. Ketika kita bersyukur kepada Allah sesungguhnya keberuntungannya untuk diri kita sendiri. Allah tidak rugi jika kita mengingkari segala nikmat- Nya. Ucapan terimakasih itu kembali kepada kita sendiri.

Allah berfirman: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, maka jadilah ia”. (QS: An-Nahl: 40)

Orang yang bersyukur jiwanya akan menjadi tenang, nyaman, dan bahagia. Jiwanya
menjadi bersih, terlepas dari sifat serakah, tidak puas, dan rasa ingin menguasai sendiri.

Jiwanya bebas dari rasa gelisah, bebas dari dendam dan ego. Jiwanya selalu memancarkan energi positif, sehingga selalu berpikiran positif dan melahirkan kinerja yang baik dalam kehidupannya.

Ketika Allah mengaruniakan harta atau kekayaan, maka timbul dalam hatinya untuk
berbagi, memanfaatkan kekayaannya untuk kebaikan bersama.

Timbul keinginan untuk menyantuni anak yatim, fakir miskin, menolong orang yang sengsara, membangun masjid, madrasah, dan tempat-tempat kemaslahatan masyarakat lainnya.

Apa yang terjadi jika hamba Allah bersyukur kepada-Nya? Berlakulah di sini hukum alam
(sunnatullah) berupa bertambahnya kenikmatan di atas kenikmatan yang sudah ada. Jika suatu masyarakat juga melakukan hal yang sama, maka penduduk negeri itu akan
merasakan semuanya.

وَاِذۡ تَاَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَٮِٕنۡ شَكَرۡتُمۡ لَاَزِيۡدَنَّـكُمۡ‌ وَلَٮِٕنۡ كَفَرۡتُمۡ اِنَّ عَذَابِىۡ لَشَدِيۡدٌ‏

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS: Ibrahim: 7)

Hukum alam yang sama juga berlaku sebaliknya. Jika seorang hamba mengingkari nikmat pemberian Allah, maka Allah akan mencabut nikmat tersebut, bahkan bisa jadi menggantinya dengan adzab-Nya. Na’udzu billah. Demikian juga jika suatu bangsa atau suatu kaum mengingkari nikmat Allah, maka penduduk negeri itu akan merasakan akibatnya.

Allah berfirman: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim”. (QS: An-Nahl: 112-113)

Allah telah mengaruniakan negeri di jamrut khatulistiwa yang sangat luar biasa kepada kita semua. Negeri Indonesia yang aman, nyaman, dan subur. Begitu suburnya, sehingga ada pengandaian, tongkat-pun di taman jadi pohon.

Sungainya bak kolam susu, dan aneka ikan hidup di sungai dan di laut berkembang biak tanpa perlu diberi makan. Di bumi nusantara ini tersimpan aneka tambang, di atasnya berjuta-juta hektar sawit dan perkebunan. Di udara terdapat simpanan energi matahari yang tak ada habisnya.

Jika bangsa Indonesia bersyukur, dan mengelola sumber daya alam secara baik dan adil, maka kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat akan terwujud dan menjadi nyata. Tapi jika para pemimpinnya tidak amanah, lebih mementingkan diri seendiri, bahkan rela mengorbankan dan menjual rakyatnya untuk kepentingan asing, dan tidak ada lagi sekelompok manusia yang bisa menahan kezalimannya, maka tunggulah saatnya akan datang malapetaka.

Allah mengingatkan: “Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka”. (QS: Muhammad: 13)

Negeri ini merupakan warisan para pejuang Muslim. Negeri ini diperjuangkan dangan
darah dan air mata para Ulama dan para santri. NKRI ini dititipkan kepada kita agar dijaga, dipelihara, dimakmurkan, disejahterakan, dan dimajukan Bersama seluruh komponen anak bangsa.

Para syuhada kita tidak rela bila negeri ini digadaikan untuk kepentingan asing. Adalah kewajiban kita, anak negeri ini, kaum muslimin, terutama generasi muda untuk bangkit menyelamatkan negeri dari ancaman penjajahan gaya baru, penjajahan kaum oligarki.

Dengan komposisi penduduk yang mayoritas muslim, dan kekayaan sumberdaya yang melimpah ruah, Indonesia sesungguhnya sangat potensial menjadi negeri yang sejahtera dan aman, baldatun thoyibatun wa rabbu ghafur, sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an:

لَقَدۡ كَانَ لِسَبَاٍ فِىۡ مَسۡكَنِهِمۡ اٰيَةٌ  ۚ جَنَّتٰنِ عَنۡ يَّمِيۡنٍ وَّشِمَالٍ ۖ کُلُوۡا مِنۡ رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَاشۡكُرُوۡا لَهٗ ؕ بَلۡدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوۡرٌ

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. (QS: Saba’: 15)

Fashalli lirabbika wan-har. Berkorban bukan hanya dalam makna harfiah daging dan darahnya tapi esensinya adalah aktualisasi taqwa, cinta, syukur dan ketaatan kepada Allah.

Artinya, seluruh perjuangan kita sebagai implementasi iman untuk mencapai derajat taqwa, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarkat dan berbangsa, semuanya memerlukan pengorbanan.■

*) Disarikan dari naskah Khutbah pada shalat Ied Adha di Desa Tombang, Luwu



BACA JUGA