Senin, 11 Oktober 2021 | 13:52 Wita

Paradigma Ilmu dalam Islam, Dari Dzikir dan Fikir

Editor: Firman
Share

Oleh: Ust Dr H Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Albayan Hidayatullah Makassar & Dosen STAI Albayan

HidayatullahMakassar.id — Menuntut ilmu itu tidak ada batasnya selama kita hidup. Ada yang formal dan informal. Menuntut ilmu itu perintah Allah dan Rasulullah. Ayat pertama wahyu pertama yang diturunkan Allah adalah ayat perintah untuk membaca.

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,”

Yang menarik objek bacaan yang diperintahkan untuk dibaca tidak disebutkan. Bukan buku. Yang ada berupa pensifatan membaca atas nama Allah. Karena membaca itu pintu untuk mendapatkan ilmu. Entah dengan membaca buku ataukah fenomena alam dan sekitar. Teman dibaca karakternya, itu juga membaca. Alam semesta juga harus dibaca dengan alat baca dari ilmu matematika hingga ilmu biologi.

Demikian pula membaca perilaku masyarakat dengan ilmu sosiologi, ada ilmu ekonomi dan seterusnya. Bagaimana untuk mendapatkan kekuasaan dengan ilmu politik. Ketiadaan jelas objek yang disuruh dibaca oleh Allah dalam ayat itu juga menunjukkan ilmu tak ada batasnya.

Kalimat laillaha illalah hanya dua kali disebut dalam quran. Salah satunya dalam surah Muhammad : 19

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah selain Allah….”

“Ketahuilah” merupakan perintah kepada kita untuk mengilmui dan mempelajari bahwa tiada tuhan selain Allah. Artinya untuk memiliki iman dan keislaman yang benar maka kita harus memiliki ilmu laillaha ilallah, kita harus belajar tauhid.

Kita tidak boleh merasa telah beriman semata tanpa disertai ilmu tauhid. Akan berbahaya. Misalnya di kampung-kampung kita banyak sekali keyakinan berupa pamali, kebiasaan turun-temurun atau kepercayaan mistik seperti tolak bala yang sesungguhnya tidak sesuai dengan tauhid.

Menggantung pisang saat bangun rumah dengan keyakinan agar pemilik rumah banyak rejeki itu salah satu bentuk kesyirikan. Ilmu kebal termasuk ilmu syirik karena dikendalikan setan dan jin.

Selanjutnya bagaimana kita harus menuntut ilmu. Sangat banyak hadits yang memerintahkan kita agar menuntut ilmu. Salah satunya dalam sebuah hadits Rasulullah.

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Itulah kenapa ulama memastikan menuntut ilmu sebagai salah satu amal jihad. Orang meninggal saat menuntut ilmu meninggalnya sahid. Maka tidak boleh malas saat menuntut ilmu

Ulama mengatakan kemalasan merupakan wadah setan agar manusia tidak beriman dengan baik. Sehingga Rasulullah mengajarkan sebuah wirid doa agar kita terhindar dari keluh kesah dan sedih, dari lemah dan kemalasan.

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ وَالهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.”

Al ilmu qabla al-qoul wa al amal, ilmu sebelum berkata dan beramal. Sebelum beribadah wudhu, berpuasa, harus diketahui dulu tata cara dan ilmunya.

Bagaimana Cara Berilmu

Setelah kita memahami landasan dari kewajiban berilmu lalu patut mengetahui bagaimana cara berilmu. Allah ta’alla telah menjelaskan dalam surah Ali Imran : 190-191

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ  . الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Jadi paradigma pertama dari seorang yang ulil albab (pintar, cendekiawan) itu senantiasa berzikir. Ciri kedua dia senantiasa berpikir tentang penciptaan Allah. Bukan berpikir bentuk Allah. Jika terlintas seperti apa Allah maka segera beristigfar karena pikiran kita tak akan mampu. Hal ini biasanya menghantarkan seorang menjadi ateis. Orang beriman itu dengan beramal dan memikirkan ciptaan Allah bukan zat Allah.

Jadi paradigma mendapatkan (epistimologi) ilmu dalam Islam itu dengan dzikir selalu mengingat Allah (shalat, wirid dan lainya). Hal ini yang dinafikan oleh konsep berilmu ala konsep barat. Kedua dengan fikir.

Konsep pendidikan barat yang saat ini diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan umum itu tak mengakui dan tak percaya bahwa ilmu kita bisa bertambah dengan tadabur quran, shalat dan saat berwirid.

Sementara dalam quran jelas, agar menjadi pintar/ulil albab dengan berdzikir. Dan kalangan yang mengaku Islam, sarjana Islam, banyak yang tak mau tahu dzikir sebagai sumber ilmu. Padahal itulah ilmu hikmah. “Kedalaman ilmu hanya dengan kekuatan dzikir.”

Karena sistem pebdidikan kita saat ini hanya andalkan otak atau fikirab maka melahirkan sarjana hukum sebagai penjahat, menjadi penguasa menjadi zalim. Karena fikirnya jalan tapi tidak berzikir. Inilah kesalahan epistimologi dalam berilmu.

Kesalahan paradigma pendidikan sudah sangat parah dengan melahirkan banyak orang pintar tapi gandrung berbuat maksiat. Hancurnya suatu peradaban, dengan adanya sistem hukum yang tak adil, pendidikan berorientasi materi dan lain lain. Ini pula dalah kesalahan paradigma/epistimologi dalam menuntut ilmu.

Intelektual menurut Islam dzikirnya jalan dan bersamaan fikirnya aktif. Harus sinergis. Sedangkan orang barat meyakini kebenaran ilmiah kalau sesuai dengan pikiran, kenyataan, objektif, empiris. Sedangkan yang tak kelihatan dan bisa diraba bukan empiris menurut mereka tidak ilmiah.

Sehingga malaikat itu tidak ilmiah menurut standar ilmiah pendidikan barat. Karena tak bisa dilihat dan dirasakan. Jin juga tidak ilmiyah padahal di Islam nyata dan ilmu ruqyah sangat ilmiah karena mengendalikan jin.

Ilmu barat menyatakan nyamuk makhluk menganggu tapi ilmu Islam kata alQuran “Tidak ada yang diciptakan tanpa manfaat”. Sehingga setiap kali berilmu sejatinya iman akan bertambah.

Sedangkan orang tak beriman semakin bertambah ilmu semakin bertambah kesesatan dan lihai bermaksiat. Makin berkuasa makin membohongi rakyat, makin ketahui hukum makin cerdik menipu. Wallahuallam.■ fir

*) Dari catatan on the spot kuliah umum sosialisasi dan daurah STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA