Minggu, 12 September 2021 | 14:52 Wita

Pesantren Tradisional

Editor: Firman
Share

Oleh : Arisnawawi, Guru Putra SMA Al Bayan Makassar-Pendidikan Integral Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Sebagian orang liar, maksud saya orang luar memandang pesantren sebagai inkubator pendidikan bercorak tradisional, kaku dan ketinggalan zaman (not modern). Beberapa tahun terakhir, anggapan demikian mulai redam lantaran banyaknya pesantren yang memilih berafiliasi dengan kurikulum pemerintah (muatan pendidikan formal). Sehingga muncullah istilah pesantren terpadu. 

Dua tahun sudah Ajun lalui menjadi seorang santri di Pesantren Hidayatullah Makassar, salah satu pesantren terpadu yang terkemuka di bagian Indonesia Timur. Lahir dari keluarga petani yang memprihatinkan secara ekonomi, memaksanya bertekad merubah nasib di tanah rantau. Berbekal sokongan biaya kakeknya (ayah dari ibu), ia berhasil berjuang dan dinyatakan naik kelas XII (3) satu bulan lalu dengan predikat sangat baik.

Sebagai seorang petani dan selaku tulang punggung keluarga, penghasilan Ayahnya sebenarnya cukup untuk sekedar benyambung napas. Meski kadang mereka mengalami sesak napas ketika musim panen gagal. Kondisi ekonomi keluarganya sangat dipengaruhi dari kemurahan alam. 

Beberapa lahan tanah yang mereka kelola, adalah milik orang lain. Pembagian hasilnya sangat sederhana. Semua hasil panen dibagi tiga, dua untuk penggaraap tanah (Ayahnya) dan satu untuk pemilik tanah. Salah satu keistimewaan memiliki tanah di kampungnya, ialah dapat hidup walau tidak bekerja. Sebaliknya, bekerja bukan jaminan untuk hidup di sana.

Ayah Ajun dan sebagian masyarakat yang lain hidup dan bergantung dari pengelolahan tanah orang lain. Modal untuk bibit, pupuk, racun dan tenaga merupakan tanggungan dari pihak pekerja, bukan pemilik tanah. Dengan kondisi seperti ini, kadang keluarga dan masyarakat yang bernasib sama dengan keluarga Ajun, mengalami kebuntuan ekonomi ketika tiba masa alam pacekik. 

Ajun tumbuh dalam asuhan seorang Ayah yang pekerja keras dan seorang Ibu yang penyabar. Ibu pemegang kendali penuh urusan dapur. Semenjak suaminya sakit batuk keras yang disertai sesak napas sehingga mengakibatkan kekuatan fisiknya mulai melemah. Ia memutuskan membantu suaminya mencari nafkah, termasuk mengelolah tanah. 

Untuk sementara dan tidak tahu sampai kapan, dapur diambil alih oleh adik perempuan Ajun. Sebenarnya sejak usia dini, Ajun dan kedua saudaranya sudah terlatih dengan ragam pekerjaan. Kalau tidak bersama ayah dengan membajak tanah, pasti mereka akan didapati bersama dengan kesibukan ibu di dapur. Kondisi hidup seperti ini lumrah di kampungnya, yaitu kampung pedalaman dengan beribu kesederhanaan serta sejuta pengalaman. Berbekal kondisi kehidupan demikian membuat Ajun lebih cepat beradaptasi di Pondok Pesantren dibanding teman-temannya.

Tibalah musim yang ditunggu-tunggu. Apalagi kalau bukan musim panen, tepatnya panen jagung. Masyarakat menyambut dengan bahagia dan rasa haru. Setelah mengalami gagal panen 6 bulan yang lalu, kini kondisi perekonomian masyarakat kampung perlahan memulih. Utamanya para pekerja yang mengelola tanah orang lain.

Keluarga Ajun tidak lagi dililit bayangan hutang bibit, pupuk dan racun yang tempo hari digunakan dalam menanam dan merawat jagung. Kebiasaan orang borjuis (kaya) di kampungnya, berbaik hati meminjamkan alat dan bahan pertanian kepada petani. Pembayarannya, setelah masa panen tiba. Tentu harganya tidak lagi sama. Bantuan ini menjadi angin segar bagi sebagian petani yang optimis, namun sekaligus menjadi tombak beracun bagi petani yang pesimis. Yaitu, mereka yang dihantui kegagalan panen.

“Ma, apa lagi mau dibantukanki setelah ini?” tanya Ajun disela istirahat memanen jagung. Matahari semakin menurun, hampir tenggelam. Secara geografis, Ajun tinggal di daerah pedalaman. Butuh 50-60 menit perjalanan dari jalan poros ke kampungnya. Rumahnya bersebelahan dengan sungai, tempat segala permenungannya mengalir. 

“Kumpulkan batang jagung ini Nak, untuk labolong dan labalo (sebutan khusus untuk sapi yang berwarna berbeda/unik)” pinta ibunya. Pandangannya lurus, menyorot tetesan-tetesan keringat Ajun yang duduk dalam pangkuan baronjong sungai (pondasi pinggiran sungai) yang sambil bertelanjang dada. Ia perhatikan detail perubahan bentuk fisik anak tertuanya ini. 

“Ajun, kau nampak makin kurusan Nak. Jarang makan di Pondok yah?” tanya ibunya tiba-tiba menerobos lamunannya yang sedang menyusuri sungai. Ia khidmat melihat bungkusan mie, plastik kerupuk, sandal dan botol minuman beradu kecepatan menuju ujung muara sungai. “Seringji Ma’ tapi kadang lupa makan karena jadwal belajar yang padat. Kadang-kadang sering ketiduran saat waktu makan, kadang juga tidak selera makan karena lauknya itu-itu terus” jawabnya spontan, seakan tidak menghendakinya.

Bungkusan plastik mie instan tidak lagi Ajun dapatkan dalam sorotan mata. Dengan begitu, dialah pemenangnya dalam lomba lari marathon dari kelas sampah rumah tangga disungai tersebut.

Kakek Ajun dari jalur ibu pernah menceritakan peran sungai ini yang begitu dahsyat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Jika ia hidup sesaman dengan kakeknya, jelas bukan lagi sampah yang akan Ajun pelototi beradu cepat menyusuri sungai. Melainkan baskom-baskom besar yang berisikan sokko (sebutan warga lokal) atau nasi dari beras ketan, ayam, pisang, telur, dan seambruk bahan-bahan dapur diatasnya. 

Tidak ketinggalan kamenyan dengan kepulan asapnya, akan membelah sungai. Mirip-mirip kendaraan UFO dalam berbagai film. Kakek Ajun sering kedapatan menarik sesajen itu ketika seumuran dengannya dengan menggunakan sebilah bambu yang diambil tergantung di pangkal pelepah pohon kelapa. Persis bersebelahan dengan pohon beringin yang dulu juga dikeramatkan oleh masyarakat setempat.

Jika kedapatan mengambil sesajen, kakeknya sering di pukul dan kecipratan nasehat tidak mengenakkan dari keluarga-keluarganya. Katanya, akan membuat marah Dewa Sungai atau penghuni gaib sungai (panganroang salo sebutan warga setempat) lantaran makanannya tidak datang. Kalaupun sesajennya datang porsinya sudah berkurang. 

Panganroang salo pada zaman kakeknya dianggap memiliki kekuasaan penuh terhadap sungai itu. Keberhasilan atau kegagalan panen jagung dan tanaman lainnya di pinggiran sungai tersebut dipercaya oleh masyarakat bersumber dari kebaikan dan kemurkaan dari Dewa Sungai.

Dari pengetahuan turun temurun, hampir seluruh masyarakat setempat memahami hal demikian. Sehingga mereka hanya butuh membahagiakan sang Dewa agar tidak mengganggunya. Kakek Ajun sering bertanya kepada ayahnya dan tokoh-tokoh masyarakat di masanya. Kurang lebih seperti ini “kenapa bisa Panganroang salo dikirimkan makanan dari kampung, bukankah sungai tempatnya makanan, tempatnya lauk pauk? kalau ia tidak suka makanan dari sungai, untuk apa ia tinggal disana?”

Ajun diceritakan oleh kakeknya bahwa awal mula keraguannya terhadap Panganroang Salo ketika keluarganya tidak satupun mampu menjawab pertanyaannya itu dengan logis. “Kau masih kecil dan kamu belum paham ini Nak. Kalau besar kamu akan paham dengan sendirinya” tutur keluarga-keluarganya yang berulang-ulang. Seakan tidak punya pilihan jawaban lain. Hingga tua, kakek Ajun masih tetap gagal paham dengan pemberian sesajen ini. Ia menganggap, kebiasaan ini sebagai suatu penyimpangan dalam rasionalitas beragama (kecelakaan berpikir). 

Kondisi demikian menjadikan kakeknya ngotot menyekolahkan cucu-cucunya di sekolah yang bercorak agama. Namun disaat yang sama ia juga sekaligus menginginkan cucu-cucunya mendapatkan ilmu pendidikan formal/umum. Kegalauan demikian akhirnya bisa terpecahkan ketika ia mendapatkan informasi tentang pesantren terpadu. Berkat bantuan finansial Kakek kesayangnnya tersebut, tibalah Ajun di Pesantren Terpadu Hidayatullah yang sangat bergengsi di kota Makassar. Ia titipkan harapan kepada cucu-cucunya agar bisa belajar agama dengan baik, dengan rasional bukan dogmatis seperti yang lazim dilakukan oleh masyarakat sewaktu ia masih kecil (kepercayaan animisme dan dinamisme).

Semenjak Ajun belajar mata pelajaran Sejarah di Pesantren, ia mulai perlahan mencintai tempat tinggalnya yang berdekatan dengan sungai. Jika ditanya oleh teman-temannya mengapa keluarganya tidak pindah dari sungai, Ajun akan menjawab saja sesuai pemahamannya bahwa sungai itu menempati posisi mulia dalam peradaban manusia. Selain itu, alasan besarnya tentu persoalan biaya. Pindah rumah memakan biaya yang tidak sedikit.

 “Sungai itu sangat berarti bagi peradaban manusia. Tempat manusia pertamakali mengelola alam dengan baik melalui teknik bercocok tanam. Orang tua dulu kan mengelola tanaman membutuhkan air, ternak-ternak mereka juga butuh minum. Sehingga mereka bermukim di pinggiran sungai untuk mengelola ini semua” timpal Ajun.

“Aku pernah membaca buku Peradaban Barat karya Marvin Perry. Eh, kemarin juga pernah di bahas di pelajaran Sejarah  tentang manusia purba dan asal-usul manusia modern. Bahwa sungai Eufrat dan sungai Tigris yang terletak di Mesopotamia dan sungai Nil di Mesir merupakan basis kemajuan peradaban dunia. Sekitaran sungai tersebut masyarakat mengelola gandum, anggur, jagung dan tanaman-tanaman lainnya. Intiya, aktivitas masyarakat adalah bercocok tanam. Untuk itu mereka tidak jauh-jauh dari sungai kan. Ini adalah bukti nyata bahwa sungai adalah awal kemunculan kehidupan yang begitu maju ini. Di sana juga ditemukan tulisan pertama sekitaran 3000 tahun sebelum masehi yang menandai babakan sejarah atau aksara seperti tulisan paku di Mesepotamia dan tulisan hieroglif di Mesir” sambungnya meyakinkan.

Ajun bersyukur bisa belajar di pesantren integral yang telah memadukan kurikulum ilmu umum dan kurikulum kepesantrenan. Sehingga pengatahuannya tidak melulu tentang agama, pun juga tidak melulu tentang ilmu dunia, melainkan perkawinan keduanya. Agamanya dapat dan dunianya juga dapat, persis seperti yang diimpikan kakeknya.

Ajun masih termenung di atas baronjong, keringatnya mulai mengering. Ia spontan berpikir dan berucap dalam hati, “kalau dulu sungai menjadi awal peradaban dunia, lalu mengapa sungai yang kakek temui malahan sebaliknya?”

Sekilas jawaban itu seakan Ia raba ditengah sungai. Ia kembali bergumam dalam hati “Masyarakat dulu kan belum paham proses kinerja alam. Jika musim hujan dan air sungai ini naik menggenang tanaman atau pemukimannya, mereka selalu kaitkan dengan pengaruh Dewa Sungai. Karena itu, orang-orang mulai mencoba berbagai cara untuk menenangkan amukan makhluk gaib tersebut. Barangkali, pada saat itu ada masyarakat yang berpikir bahwa mereka mengamuk karena sedang lapar. Logika ini kan berhubungan dengan sebagaimana anak yang kelaparan, pasti mengamuk”.

“Singkatnya, mungkin masing-masing keluarga kemudian mengalirkan makanan kesukaannya di sungai. Ada yang kirim Ayam, sokko, pisang dan lain-lain. Selang beberapa bulan, banjir itu kemudian tidak kembali lagi. Sangat memungkinkan disini awal mula penegasan dan kepercayaan tehadap keberadaan mahkluk gaib ini” sambungnya dalam hati dengan penuh kehati-hatian.

“Padahal dalam penjelasan guru Ilmu Pengatahuan Alam (IPA), mengatakan fenomena ini hanyalah siklus alam. Siklus ini akan berjalan tiap tahun. Banjir akan selalu ada di pinggiran sungai, khusunya sungai di kampungku ketika musim hujan datang. Selain sungai ini menjadi tempat muara sungai-sungai kecil dari kampung sebelah, sungai ini juga dulu (zaman kakek) tidak terlalu dalam sehingga akan meluap jika air kiriman melimpah. Banjir akan menghilang jika musim hujan berganti. Jadi meski tidak menyodorkan sesajen kan banjir juga akan surut dengan sendirinya” Simpulnya singkat. 

“Itulah mengapa sungai ini sekarang sudah di kerup dan dibuatkan dinding beton (baronjong) agar air tidak masuk di lahan pertanian dan pemukiman warga. Sekarang sungai ini tidak lagi menjadi momok menakutkan sebagaimana dahulu. Aku telah menemukan penjelasan yang dibutuhkan kakek. Namun ajal telah menjemputnya sebelum pengatahuanku ada” kecamuk pengatahuan dalam diri Ajun kian meronta-ronta.

“Juun, Nak. Jagung ini nanti kau simpan di teras (rumah) nah. Besok mama mau jemur” perintah ibunya tegas membuyarkan perenungan Ajun. “Iye Ma” pungkasnya singkat. 

Hilangnya tradisi pengiriman sesajen kepada Panganroang salo dari masyarakat setempat, justru malah memperkeruh kekhawatiran Ajun. Bagaimana tidak, kondisi ini malah melahirkan tradisi atau kebiasaan baru yang lebih memperihatinkan. Tradisi itu beerkenaan dengan kebiasaan pembuangan sampah di sungai. Plastik-plastik yang dahulunya amat jarang didapatkan, kini hampir menutupi permukaan sungai.

Karena dalih efisiensi, masyarakat yang tinggal disekitaran sungai dan masyarakat luar lazim melempar sampahnya begitu saja. Sampah disekitaran rumah, dianggap akan memperburuk estetika rumah. Atauakah, alasan kuatnya… “mungkin sungai tidak lagi ditakuti seperti sediakala? tidak lagi dianggap sakral dan keramat” cetus Ajun tiba-tiba berbicara sendiri. Saat-saat tertentu sungai tersebut akan menghitam lantaran banyaknya limbah sampah rumah tangga.

Dari amukan batin Ajun, ia mencoba menerka-nerka kalau saja nenek moyangnya mendapatkan kesempatan hidup kembali di era sekarang. Pastilah mereka akan menjumpai sungainya menghitam, dan ditambah bau busuk yang cukup menyengat. “Barangkali para nenek akan mengalami puncak ketakutan yah. Dikiranya sungai ini sudah terkutuk. Atau mereka malah akan mengira Dewanya telah dibunuh oleh Dewa yang lain, atau dibunuh oleh manusia sendiri?. Atau para nenek akan sibuk mencari sesajen-sesajen yang tidak pernah kelihatan lagi?” Entahlah… gumamnya sambil menggeleng pelan.

“Kalau Dewa dapat saling membunuh, pastilah ada Dewa yang paling kuat yang tidak bisa mati. Dewa para Dewa. Mungkinkah ini Dewa Allah dalam Agama Islam?” ungkap Ajun kebingungan. Ajun sering melontarkan pertanyaan keberadaan Dewa Tunggal atau Tuhan (Dewata Seuwae) kepada gurunya saat belajar Agama di pesantren. Namun penjelasannya diaggap dan bersifat parsial serta kurang meyakinkan, atau sebenarnya Ajun yang gagal paham. Sebagain guru lainnya memilih diam ketimbang menjawab. Ajun bahkan kerap kali mendapat timpalan sinis dari teman-temannya, “Tidak usah mempertanyakan Tuhan Jun. Kalau kita pertanyakan ada atau tidaknya Tuhan, berarti kita meragukan keberadaannya” 

“Kata Ibuku” sambung Haekal. “Kita akan disiksa jika sampai tidak mempercayai Tuhan dan akan dimasukkan ke dalam apinya yang saaangat panas” lanjut Haikal berupaya menirukan ibunya. “Kok kejam sekali Tuhan melarang kita mencari tahu keberadannya” tegas Ajun sambil menggeleng.

Fenomena-fenomena yang ada di lingkungan Ajun kerap kali membuatnya kebingungan. Kegalauannya akhirnya sedikit demi sedikit terobati ketika Ajun bertemu dengan Ustad Jusman, salah satu guru kebanggaan pesantren. Ajun sangat menaruh hormat dan segunung kekaguman kepadanya.

Yang membuat Ustad Jusman menarik karena setiap pertanyaan santri tidak langsung dijawab seperti orang-orang pada umumnya. Ia kadang menjawab dengan pertanyaan balik, atau bahkan hanya memberi pengantar. Selebihnya ia membiarkan para santri berpikir dan menarik kesimpulan sendiri. Bukan karena tidak mempunyai jawaban, melainkan Ustad Jusman selalu mengajak untuk sama-sama berpikir (olah rasio).

Pernah suatu kisah. Kala itu, Ajun sedang bertanya tentang pengatahuan ilmiah dan agama. Hal ini bermula ketika Ajun mengikuti mata pelajaran sosiologi di pesantren.  Santri-santri tercengang mendengar perkembangan teknologi mutakhir yang dijelaskan. Bahwa manusia telah mampu menciptakan teknologi robotik yang dilengkapi Artifisial Intelegent (kecerdasan buatan) sehingga mereka dapat berinteraksi, berbicara dan berhubungan sosial layaknya manusia. Bahkan, salah satu robotik yang sangat mirip dengan manusia ciptaan Dr. David Hanson yang diberi nama Sofia telah mendapatkan hak kewarganegaraan dari negara Arab Saudi, negara Islam. Pesatnya perkembangan teknologi ini banyak diklaim atas sumbangsi pengatahuan ilmiah, bukan berasal dari agama. 

“Apakah yang lebih penting agama atau pengatahuan ilmiah menurutta Ustad?” tanya Ajun ketika sedang bersama Ustad Jusman melihat-lihat kolam ikan di samping mesjid Pondok.

Bukan langsung menjawab, Ustad Jusman malahan menimpali pertanyaan balik “apa yang antum pahami dengan agama, dan apa yang antum pahami dengan pengatahuan ilmiah?”

 Ajun mulai berpikir keras untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun sebenarnya, upayanya ini tidak lain dari upaya menjawab pertanyaannya sendiri. “agama adalah keyakinan Ustad dan pengatahuan ilmiah adalah pendapat tentang sesuatu” Seru Ajun sambil cengengesan. “Apa itu keyakinan dan apa itu pendapat menurutmu Jun?”. “Keyakinan adalah kepercayaan akan sesuatu dan pendapat adalah konsepsi terhadap sesuatu Ustad” keseriusan nampaknya mulai menghembus dari dalam jiwa Ajun. “Apa itu kepercayaan dan apa itu konsepsi… dari mana kepercayaan bisa muncul dan dari mana konsepsi bisa muncul…” Tanya kembali Ustad Jusman yang semakin menyelami dan mengarahkan pemikiran salah satu santri kesayangannya tersebut. 

Tanya jawab berjalan tanpa henti, ketika Ajun menjawab, seketika itu muncul lagi pertanyaan dari Ustad Jusman. Begitu seterusnya…

Hemat cerita, dialektika guru vs murid ini berlangsung sengit, hingga tiba-tiba mengantarkan Ajun pada sebuah kesimpulan yang jelas, setidaknya menurut Ajun. “Pengatahuan ilmiah itu Ustad suatu konsep yang disertai pembuktikan empiris atau klarifikasi panca indra serta masuk akal (tahu + bukti empiris + rasional). Misalkan Ustad, kita ingin mengatahui dengan menanam biji buah mangga, maka pohon apa yang tumbuh. Ketika kita menanamnya, dan beberapa tahun kemudian tumbuhlah pohon mangga. Tahulah kita bahwa, biji mangga yang ditanam bisa menjadi pohon mangga.  Pengatahuan ini disebut pengatahuan ilmiah, karena hal demikian rasional dan ada bukti empirisnya Ustad dan berlaku secara umum”.

Ustad Jusman hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ajun. “Sedangakan keyakinan adalah suatu konsep tanpa harus mendapatkan pembuktian empiris melalui panca indra, tapi tetap masuk akal (tahu + tanpa bukti empiris + rasional). Misalkan Ustad, mengapa bisa dengan menanam biji mangga tumbuh pohon mangga?, mengapa bukan pohon durian? atau pohon kurma?. Ada dua kemungkinan jawaban bisa diperoleh menurut hasil tanya jawab tadi Ustad. Pertama karena kebetulan, namun teori ini sangat lemah karena dapat ditumbangkan oleh teori kebetulan itu sendiri. Kedua, biji mangga yang ditanam akan selalu  tumbuh pohon mangga karena ada aturan atau hukum yang mengatur demikian. Hukum alam ini tidak kelihatan atau tidak empiris, tetapi akal mengatakan hukum ini ada dan bekerja Ustad. Seperti matahari yang setiap hari terbit dan terbenam. Ketika kita bertanya, siapa yang membuat hukum ini? tentu dibuat oleh yang maha pintar dan ini rasional. Disinilah keyakinan bekerja Ustad” jelas Ajun penuh semangat. 

Jawaban Ajun disambut jempol tangan kanan oleh Ustad Jusman, sembari mengatakan “Setidaknya, untuk sementara apa yang barusan antum simpulkan bisa dijadikan pegangan”. 

Sebelum matahari terbenam di ufuk barat, Ustad Jusman bercerita tentang pentingnya agama dikawinkan dengan ilmu pengatahuan. Kali ini ia mengangkat pengalaman teman karibnya semasa kecil, Robi. Ketika beranjak remaja, Ustad Jusman memilih lanjut di pondok pesantren terpadu setingkat SMA. Sedang robi memilih sekolah Sekolah Manengah Atas Negeri di Kota. Dari kecil sampai dewasa, Robi kerap kali melakukan perbuatan maksiat dan berbohong. Tapi dua tahun terakhir ini, Robi berubah 180 derajat. 

Kabar perubahan tersebut diceritakan oleh Robi sendiri saat mereka bertemu dalam kegiatan reuni alumni SMP. Robi bercerita kepada Ustad Jusman bahwa perubahan drastisnya dimulai saat ia “spontan ke Mesjid lantaran mendapatkan ujian hidup yang sangat besar. Robi tidak tahu bagaimana keluar dari masalah tersebut. Entah kebetulan atau bagaimana, Robi mengaku dihampiri oleh salah satu komunitas agama ketika selesai shalat Asar di Masjid. Dari perbincangan itu, ia dibantu keluar dari masalah sehingga membuatnya mulai tertarik dengan agama” ungkap Ustad Jusman yang menirukan perkataan Robi. Satu hari setelah pertemuan, Robi memutuskan bergabung dalam komunitas agama tersebut. Jiwanya menggebu-gebu belajar agama, serasa mendapat suntikan zat adiktif.

“Tidak membutuhkan waktu lama belajar agama, ia cepat menguasai berbagai ayat agama (menurut versinya) yang diajarkan oleh teman komunitasnya. Hanya membutuhkan waktu dua minggu setelah masuk kelompok tersebut ia sudah sering dipanggil Ustad oleh teman-teman kelompoknya. Berkat kecakapannya dan semangatnya yang membara dalam berdakwah, ia sangat disegani dan dikagumi” jelas Ustad Jusman

Ustad Jusman kemudian menyambung bahwa, “Robi yang telah dipanggil Ustad tadi merupakan salah satu teman SMP saya yang tipikal orangnya cukup ambisius. Hal demikian mengantarkannya pada jiwa kompetitif yang sangat tinggi dibandingkan dengan teman-teman kami yang lain. Sehingga tidak heran jika ia juga sangat menonjol dan disegani oleh teman-teman barunya dalam komunitas agama tersebut”.

“Nah, disini mulanya Jun. Memasuki 4 bulan masuknya ia dalam kelompok, Ustad Robi diberikan amanah oleh komunitas Agama tersebut untuk melakukan dakwah di daerah terpencil salah satu kampung di pedalaman Sulawesi Selatan dengan ditemani dua orang rekannya” terang dari Ustad Jusman.

“Ustad Robi yang ditemani oleh kedua sahabatnya membawa misi menyiarkan agama disana secepat mungkin. Rombongan ini diketuai oleh Robi sendiri. Sesampai mereka di kampung itu, masyarakat menerima mereka dengan ramah layaknya tamu-tamu pada umumnya. Masyarakat setempat masih memegang tradisi nenek moyangnya, baik dalam menjamu tamu maupun dalam sistem kepercayaan. Rata-rata masyarakatnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, mirip mirip dengan zaman kakekmu yang pernah antum ceritakan Jun. Terdapat beberapa benda dan tempat yang sangat dikeramatkan. Salah satunya adalah pohon beringin besar beserta sumur berdiameter kurang lebih satu setengah meter. Kedua benda yang dikeramatkan itu saling berdekatan dalam satu area yang sama”.

Sambil mengambil napas dalam-dalam, Ustad Jusman melanjutkan bahwa “kepercayaan masyarakat dan pengkeramatan itu bermula saat masyarakat melihat pohon dan sumur itu berbeda dibandingkan pada pohon dan sumur pada umumnya Jun. Pohon beringin itu sangatlah besar. Karena sangat besarnya, kata Ustad Robi kalaupun 10 orang yang bergandengan tangan tidak cukup untuk mengelilingi batangnya. Selain batanganya besar, pohon tersebut juga terlihat begitu menakutkan karena akar-akarnya yang menggelantung di rantingnya sendiri. Pohon itu kemudian dipercaya sebagai tempat roh-roh nenek moyang masyarakat  bersemayan. Karena roh-roh memilih tinggal di sana, sehingga pohonnya memiliki bentuk yang aneh”. 

“Oh iya, masyarakat disana memahami, roh-roh orang yang sudah meninggal tetap ada disekeliling mereka. Sebagian masyarakat sering menjumpainya dalam mimpi. Tapi, roh-roh itu juga kerap memasuki tubuh seseorang untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Orang yang kemasukan roh itu, disebut kesurupan Jun. Biasa kan antum lihat bagaimana orang kesurupan?”

“Iye Ustad, terus bagaimana dengan sumurnya Ustad mengapa disakralkan juga?” tanya Ajun

“Sedangkan sumur yang ada disebelahnya, tidak pernah mengalami kekeringan Jun. Airnya selalu ada, dan sumur ini satu-satunya sumur yang tidak pernah kering di kampung itu. Masyarakat mempercayai keberlimpahan air dari sumur tersebut disebabkan oleh bantuan roh nenek moyang yang senantiasa menuangkan air di dalam sumur itu. Jika memasuki musim kemarau, sumur inilah satu-satunya tempat mengambil air di kampung tersebut untuk keperluan rumah tangga, dan khusunya tempat ternak-ternak masyarakat melepas dahaga. Rata-rata pekerjaan masyarakat lokal di daerah pedalaman sana adalah peternak dan petani Jun, samaji kurasa di kampungmu”.

 “Pengkeramatan terhadap kedua benda itu Jun bermula disitu. Supaya keadaan ini masih bertahan, masyarakat berpikir untuk menyenangkan roh-roh nenek moyangnya dengan memberikan sesajen agar mereka tidak berpindah tempat dan senantiasa mencukupkan air di kampungnya. Yah, masyarakat setempat berupaya membuatnya merasa nyaman. Bukankah kalau antum sudah merasa nyaman tidak akan berpaling juga?” 

“Iye pastimi Ustad. Lanjut Ustad. Penasarangka hihi” pinta Ajun tidak tahan

“Dari cerita-cerita masyarakat terdahulu, bahwa sebelum pohon itu ada Jun. Sumurnya itu beberapa kali juga mengalami kekeringan saat memasuki puncak musim kemarau” 

“Kalau mendengar sejarah di kampungmu, kan pemberian sesajen kepada Dewa Sungai atau Panganroang Salo dahulunya karena masyarakat sangat takut dengannya, tapi di kampung sana justru masyarakat dilatarbelakangi oleh sikap penghargaan terhadap roh-roh nenek moyangnya” sambung Ustad Jusman mencoba membandingkan awal mula kepercayaan animisme dan dinamisme di kampung Ajun dan di kampung pedalaman tempat Ustad Robi menjalankan misinya.

Karena Ajun mengangguk-angguk dan kelihatannya merasa mengerti, Ustad Jusman melanjutkan “Masyarakat setempat meyakini berkat bantuan dari nenek moyang mereka yang bersemayam dalam pohon, kesejahteraan mereka meningkat. Hal ini diperkuat, adanya mimpi-mimpi satu dua orang melihat nenek moyangnya berkeliaran disekitar dan bahkan melihatnya tidur diatas pohon itu Jun sambil tersenyum sembringah”. 

“Prilaku masyarakat yang sering membawa sesajen inilah dijumpai oleh Ustad Robi dan kedua rekannya. Mereka membawa misi pemberantasan perilaku Bid’ah dari kelompoknya, salah satu misi terbesarnya ialah menghilangkan tradisi sesembahan masyarakat tersebut Jun. Karena kampung ini cukup luas, dan untuk proses pengislaman yang ekfektif dan cepat, Ustad Robi membagi tiga tempat untuk rombongannya. Satu ke bagian utara kampung, satu ke bagian selatan  kampung dan Ustad Robi sendiri mengambil di bagian tengah kampung. Kata Ustad Robi, ia sendiri mengambil area yang paling parah kemusyrikannya, yakni di tempat pohon dan sumur yang dikeramatkan itu Jun”.

“Seruan Ustad Robi masuk Islam tidak sulit untuk diterima masyarakat setempat. Karena sebagian ajaran agama yang dibawanya sangat bersesuaian dengan pemahaman dan keyakinan masyarakat setempat. Hanya saja praktek sesajen masih sangat sulit dihilangkan karena perilaku ini sudah membatin dalam masyarakat beratus-ratus tahun lamanya Jun. Karena kepintarannya dalam berdakwah, tiga bulan kemudian sebagian besar masyarakat setempat mulai meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya dan berbondong-bondong memeluk Agama Islam”

“Wah, Ustad Robi hebat sekali yah Ustad” ujar Ajun dengan wajah terpesona

“Karena merasa jumlah masyarakat setempat sudah banyak memeluk agama Islam, maka satu-satunya misi yang belum dituntaskan Ustad Robi adalah menghilangkan secara keseluruhan praktek pemberian sesajen kepada pohon besar dan sumur itu Jun. Ternyata masih ada segelintir orang tetap bertahan dengan kepercayaan lokalnya itu Jun”.

“Pada suatu waktu, dalam ceramahnya yang membara-bara, Ustad Robi berniat mendirikan masjid tepat di tempat pohon besar itu. Kebetulan dalam masjid tersebut dihadiri seorang kontraktor yang dermawan, menawarkan jasanya untuk membantu. Selanjutnya mereka berkomunikasi dengan pemilik tanah dan mendapatkan lampu hijau. Namun mereka tidak mendiskusikannya dengan segelintir orang yang masih melakukan praktek sesajen tadi Jun. Menurut Ustad Robi, mereka dikhawatirkan akan dapat menghalangi niat baik masyarakat secara umum dan kelancaran pembangunan masjid baru itu”.

“Pada awal pembangunan masjid, masyarakat bergembira karena selain akan mendapatkan rumah ibadah baru yang terbilang megah juga pembangunan mesjid itu didanai tulen oleh kontraktor dermawan sebagai bentuk kesyukuran atas kelahiran anak pertamanya. Ketika dilakukan penebangan pohon sampai pada pembangunan masjid di atasnya, tidak terjadi sesuatupun sebagaimana yang dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat akan kemarahan roh-roh nenek moyang disana. Hal itu meneguhkan hati sebagian masyarakat yang telah memeluk agama Islam bahwa kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang mereka dulu adalah kepercayaan yang keliru. Sumur yang terdapat disamping Mesjid kemudian menjadi tempat pengambilan air wudhu. Satu tahun pasca pembangunan masjid ini tidak ditemukan sesuatu yang mengganjal”

“Hingga suatu masa, ketika masuk bulan Mei artinya memasuki musim kemarau kedua pasca pembangunan mesjid itu. Ketika ternak-ternak masyarakat membutuhkan air minum, namun sumurnya mengalami penyurutan air yang cukup drastis. Memasuki puncak musim kemarau tahun itu, sumurnya tiba-tiba mengering. Kekeringan air ini membuat masyarakat begitu khawatir memikirkan nasib ternak-ternaknya. Segelintir masyarakat yang belum masuk Agama Islam selalu menghubungkan peristiwa ini dengan kemarahan roh-roh nenek moyang mereka”

“Dua bulan berikutnya, Masjid yang kokoh dibangun 17 bulan yang lalu itu mengalami keretakan pada dinding-dindingnya. Peristiwa itu malah menambah keyakinan para masyarakat bahwa roh-roh nenek moyangnya telah menghukum mereka atas perbuatannya telah menebang rumah dan menghentikan pengiriman sesajen”

“Hemat cerita, masyarakat berbondong-bondong kembali ke kepercayaan sebelumnya. Agama Islam ramai-ramai ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Agama Islam memberikan kesan yang sangat buruk terhadap masyarakat saat itu dan mungkin sampai detik ini. Sumpah serampah menggelegar terdengar dari mulut-mulut mereka saat menyaksikan ternak-ternak mereka satu persatu tergeletak di tanah kekurangan air. Alhasil, masyarakat terpaksa mengambil air ke sungai dengan menempuh perjalanan motor kisaran 1-2 jam”

“Apa yang bisa kita petik dari pengalaman teman saya ini Ajun, Ustad Robi?” Tanya Ustad Jusman.

“Barangkali kondisi masyarakat itu sudah ditakdirkan oleh Allah SWT demikian Ustad” jawab Ajun dengan nada kurang meyakinkan.

Coba perhatikan dengan saksama Jun “Pertama, teman saya terelalu terburu-buru menyiarkan ajaran Agama Islam. Nabi saja butuh hingga kurang lebih 10 tahun di Mekah, dan kurang lebih 10 tahun di Madinah dalam menyiarkan agama. Itupun Nabi juga tidak sampai memberangus semua agama yang ada, melainkan berupaya hidup rukun dengannya. Serta Nabi juga tidak merusak tempat Ibadah penyembahan agama lain. Selama Nabi tidak diganggu, beliau tidak mengganggu Jun. Kalaupun diganggu, beliau belum tentu juga mengganggu. Andaikan agama disebarkan dengan pengrusakan secara demikian, kita tidak akan melihat bekas-bekas peradaban Mesir, Persia, Romawi, dan lain-lain di tempat yang pernah dikuasai Islam Jun”. 

“Kedua, Ustad Robi hanya datang dengan kemampuan pengatahuan agama tanpa ditopang pengatahuan umum yang mumpuni. Bahwa secara ilmu pengatahuan dan berbagai hasil riset, ketika musim hujan pohon menyimpan persediaan air di akar-akarnya sehingga air tidak langsung mengalir begitu saja menuju ke tempat yang rendah.  Terlebih pohonnya sejenis pohon beringin”

“Ketiga, pembangunan masjid dilakukan di atas pohon yang baru saja ditebang. Alhasil batang dan akar-akar pohon itu pasti cepat atau lambat akan lapuk. Ketika ia lapuk permukaan tanah akan turun atau bergeser atau bahkan sampai berlubang. Bergesernya tanah ini menyebabkan pondasi bangunan juga ikut goyang, dan ketika podasinya goyang dinding-dinding akan retak-retak” terang Ustad Jusman sedikit menggurui dan memang untuk kali ini tujuannya menggurui.

Terkahir, Ustad Jusman menutup ceritanya dengan mengatakan “itulah pentingnya mengetahui banyak hal, belajar tentang agama, belajar tentang ilmu alam, ilmu sosial, ilmu humaniora, teknologi dan sebagainya. Jika ingin menentukan langkah yang cukup besar, jangan sungkan meminta pandangan dari berbagai pihak. Ustad Robi, hanya satu diantara orang-orang yang berdakwah namun tidak diimbangi oleh pengatahuan umum yang mumpuni. Kata Albert Einstein, agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu tanpa agama adalah lumpuh”

“Apakah Ustad Robi salah dalam hal ini Ustad Jusman?”

“Wallahu Alam Bishawab”

“Antum dan santri-santri lainnya beruntung Jun ada di Pesantren Hidayatullah ini yang mengawinkan ilmu agama dan ilmu pengatahuan umum. Sehingga dalam beberapa hal antum dapat lebih bijak mengambil sebuah langkah”

“Terima kasih banyak Ustad Jusman. Cerita Ustad sangat menginspirasi tentang pentingnya ilmu agama dan ilmu pengatahuan umum bagi manusia. Semoga ke depan Pesantren Hidayatullah Makassar tidak menendang ilmu pengatahuan umum dalam pendidikan kepesantrenan, baik ilmu pengatahuan Alam, dan Khusunya Ilmu Pengatahuan Sosial”

“Harapan saya juga begitu Jun, karena sempat ada desas-desus untuk menghapus Ilmu Pengatahuan Sosial dari kurikulum. Semoga saja tidak, agar pesantren kita tidak di bercorak tradisional melainkan rasional”

“Allahuakbar-Allaaahuakbar”

“Allaaahuakbar-Allaaahuakbar”

“Sudah Azan Magrib Jun, Ayo kita pergi ambil Wudhu”.

“Iye Ustad”■