Kamis, 4 Maret 2021 | 07:43 Wita

Ibnul Qayyim Mercusuar Kebenaran Sang Imam Besar Keilmuan Islam (2)

Editor: Firman
Share

HidayatullahMakassar.id — Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abu bakar bin Sa’ad bin Hariz az-Zur’i ad-Dimasyqi. Julukannya adalah Syamsuddin, dan kun-yah-nya Abu ‘Abdillah, atau dikenal dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Al-Jauziyyah sendiri adalah nama sebuah sekolah yang dikelola ayahnya.

Ibnul Qayyim dilahirkan pada 7 Shafar 69t H. Ia tumbuh di dalam sebuah keluarga yang dinaungi ilmu dan kemuliaan. Mula-mula, beliau menuntut ilmu dari ayahnya sendiri lalu dari banyak ulama terkemuka semasa hidupnya. Alhasil, ia pun menghasilkan karya-karya yang bagus dalam berbagai disiplin ilmu yang ditekuninya. 

Selain ilmunya yang sangat mendalam, ia juga banyak berdzikir kepada Allah, sering sekali melakukan shalat malam, berwatak lembut, dan berhati bersih.

Ia sudah terkesan dengan Syaikh Ibnu Taimiyah semenjak pertama kali bertemu dengannya pada tahun 712 H. Setelah itu, ia kerap bertemu dan berguru kepada beliau,  sepanjang hayatnya.

Ibnul Qayyim juga ikut menanggung beban-beban perjuangan bersamanya, membela prinsipnya, dan mengibarkan bendera perjuangan sepeninggal gurunya, Ibnu Taimiyyah, pada tahun 728 H.

Ibnul Qayyim terus menyebarkan ilmu yang dimilikinya hingga meninggal dunia pada malam Kamis 13 Rajab 757H.

Ibnul Qayyim adalah lautan ilmu dengan berbagai ragamnya. Ahli dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah, ushuluddin, bahasa Arab, ilmu kalam, akhlak, dan sebagainya. Dia sudah memberikan banyak manfaat kepada orang-orang yang hidup semasanya, bahkan, banyak pula ulama yang berguru kepadanya. 

Hingga saat ini, karya-karyanya masih menjadi sumber cahaya dan sinar yang menerangi. Seorang ulama karismatik seperti Ibnul Qayyim tentu akan dikagumi oleh setiap pencari kebenaran; dan sebaliknya, akan dibenci oleh musuh-musuhnya. Ibnul Qayyim adalah seorang yang tidak membatasi dirinya dengan madzhab tertentu.

Sebelum mengemukakan pendapatnya sendiri terkait suatu permasalahan, dia berusaha mengetahui pendapat dari berbagai kelompok yang berbeda terkait permasalahan tersebut, lalu menelitinya dengan seksama dan dengan telaah yang tajam. Dengan cara demikian, ia melenyapkan kebathilan dan menegakkan kebenaran yang dipandangnya benar.

Maka pantaslah jika ia dikelilingi oleh pancaran-pancaran cahaya. Dari sinilah madzhab Ibnul Qayyim berdiri, yaitu berdasarkan prinsip ittiba’ (mengikuti). Ia tidak menganut madzhab tertentu selain menyuarakan yang haq dan memerangi kebathilan di mana pun itu berada. Madzhabnya tidak dipengaruhi oleh ikatan emosional atau aliran mana pun, tetapi murni dibangun atas prinsip kebenaran semata.

Konsep tersebut berjalan seiring dengan upayanya memerangi taklid buta, serta kegigihannya membela ide-ide dan pendapat-pendapatnya yang berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah, selain guna meluruskan takwil yang mengikuti hawa nafsu. Dan dari sisi inilah, manhaj aqidah Ibnul Qayyim sejalan dengan aqidah Salaf dalam hal meninggalkan takwil dan memahami zhahir nash sebagaimana adanya. Adapun maknanyalo dikembalikan kepada Allah.

Sasaran utama Ibnul Qayyim adalah menyelamatkan umat Islam pada masanya dari berbagai perselisihan internal dan perbedaan pendapat antar sesama mereka. Khususnya pada hal-hal yang tidak layak untuk diperselisihkan oleh orang-orang yang membela agama Allah. Bahkan, roh Islam tidak memperkenankan hal itu.

Di samping itu, posisi kaum Muslimin ketika itu memang sangat tidak menguntungkan jika ditinjau dari segi politik, sosial, dan intelektualitasnya. Perselisihan-perselisihan itu tentu hanya akan memperburuk kondisi dan melalaikan kaum Muslimin dari musuh-musuh yang memerangi mereka pada abad pertengahan tersebut.

Musuh-musuh Islam juga diuntungkan dengan kondisi negeri-negeri Islam yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil di bawah pimpinan orang-orang’ajam (non-Arab) dan dinasti-dinasti. Di tambah lagi dengan hilangnya kewibawaan khilafah Islam; yang hanya tinggal namanya tetapi tidak mempunyai peran apa pun. 

Keterpurukan kondisi politik umat Islam ini dimanfaatkan oleh bangsa Tartar dan para tentara Salib dengan cara yang paling buruk (yaitu menyerang, membantai, dan menghancurkan harta benda kaum Muslimin), meskipun pada akhirnya Allah tetap memenangkan agama ini.

Dari segi kehidupan sosial, ternyata kondisinya tidak lebih baik daripada situasi politik yang ada saat itu. Kaum Muslimin saat itu berada dalam kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan dalam menghadapi hari esok. Mereka dilanda kemiskinan dan kelaparan, harga-harga pun melambung tinggi, sementara hampir setiap Muslim kekurangan harta dan bahan makanan. 

Para pencuri mulai merampas dan merampok, bahkan para penguasa menjadikan para penjahat itu sebagai alat untuk memuluskan ambisi mereka. Kerusakan merebak dalam sistem ekonomi dan dalam segala bidang kehidupan.

Dalam situasi seperti ini, menuntut ilmu bukanlah perkara yang mudah dilakukan, bahkan ia cenderung membuat orang enggan untuk belajar. Akan tetapi, itulah realitanya sehingga umat Islam hidup dengan berpegang pada amalan orang-orang terdahulu, mengikuti kebiasaan mereka secara membabi buta, dan pasif dalam menentukan langkah mereka sendiri. 

Akibatnya, bakat-bakat yang terpendam menjadi beku, tidak mampu mencetuskan ide-ide cemerlang, apalagi untuk melakukan ijtihad atau membuat pembaruan. Meskipun demikian, keadaan tersebut tidak menafikan munculnya individu-individu yang berupaya-hingga batas tertentu melakukan sesuatu yang dapat dikenang sehingga patut disyukuri.

Di dalam iklim semacam inilah, Ibnul Qayyim muncul sebagai sosok Muslim yang amat peka dan peduli terhadap kondisi umat. Ia berusaha mencari solusi terbaik bagi mereka di masa yang akan datang. Ia sangat ingin umat ini bangkit dari keterpurukannya, meluruskan kekeliruan yang terjadi di antara mereka, dan menyelamatkan mereka dari kegelapan perselisihan dan kembali kepada jalan terang yang ditempuh kaum Salafush Shalih. 

Semua itu dilakukannya agar umat Islam sampai kepada puncak tujuan termulia, di bawah cahaya agama yang lurus ini, dengan mengikuti petunjuk al-Quran yang mulia.

Sumber-sumber yang menjadi acuan Ibnul Qayyim dalam menyimpulkan hukum adalah al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’ yakni dengan syarat diketahui tidak ada pendapat yang menyelisihinya. Lalu, fatwa Sahabat, baik laki-kaki maupun perempuan, selama tidak ada pendapat Sahabat lain yang berseberangan dengannya; namun jika mereka mempunyai pendapat yang berbeda-beda, maka ia berhenti sejenak untuk menganalisis dan menentukan pilihan. 

Referensi selanjutnya ialah fatwa para Tabi’in (generasi setelah para Sahabat), lalu fatwa para Tabi’ut Tabi’in (generasi setelah para Tabi’in), dan seterusnya. Setelah semua itu dilalui, barulah ia beranjak kepada qiyas (analogi dengan hukum yang sudah ada), istishbaad (berpegang kepada hukum sebelumnya), masblabab (tinjauan maslahat dan mudharat), saddudz dzarii’ab (tindakan preventif) dan ‘urf (kebiasaan masyarakat).

Adapun mengenai metode penyimpulan hukumnya, pertama-tama lbnul Qayyim bersandar pada nash-nash yang ada. Satu masalah ditetapkan hukumnya dengan beberapa dalil juga mengungkapkan pendapat-pendapat para^ ulama terdahulu dan memilih pendapat yang didukung oleh dalil. 

Terkadang, ia menjelaskan sudut pandang setiap pendapat, kemudian mengungkapkan dalil-dalil yang dipakai oleh lawan pendapatnya, lantas menyanggahnya. Untuk menjelaskan makna ayat, ia mengemukakan beberapa hadits yang mendukung penafsirannya.

Meskipun demikian, Ibnul Qayyim tidak fanatik terhadap suatu madzhab tertentu, tetapi ia melakukan upaya ijtihad dan mengajak orang lain untuk berijtihad, mempergunakan daya nalar, tidak mempersempit keluasan terkait hal itu, dan menyokong kebenaran di mana saja kebenaran itu berada.

Di balik itu semua, Ibnul Qayyim berharap bisa menyelesaikan perselisihan orang-orang Islam yang menyebabkan mereka lemah dan terpecah belah. la juga berharap mereka dapat bersatu mengikuti ‘aqidah salafus Shalih, karena menururnya, madzhab Salaf adalah madzhab yang paling selamar.

Ia berharap agar dapat membawa orang-orang Islam kepada keluwesan berpikir, menjauhi taklid, dan mematahkan upaya orang-orang yang mempermainkan agama. Ia pun berharap agar pemahaman yang tepat dan sempurna terhadap roh syari’at Islam yang fleksibel menjadi cahaya petunjuk yang hakiki dalam menyikapi segala kondisi.

Ibnul Qayyim meninggal dunia menjelang pertengahan malam Kamis, tanggal 13 Rajab 75L H. Jenazah ulama besar ini dishalatkan pada keesokan harinya di sebuah Masjid Jami’, seusai shalat Zhu,hur, kemudian di Masjid Jami’ Jarrah. Kemudian, jenazahnya dikebumikan di lokasi pemakaman bernama al-Bab ash-Shagir. Pemakaman jenazahnya ini diiringi oleh kaum Muslimin dalam jumlah besar.

Beberapa waktu sebelum kematiannya, ia bermimpi bertemu dengan Syaikh Taqiyyuddin (yaitu Ibnu Taimiyah) di dalam tidurnya. Ia bertanya kepadanya mengenai kedudukannya saat itu; maka Ibnu Taimiyah mengisyaratkan tentang ketinggian derajatnya di atas sebagian para tokoh terkemuka, lalu beliau berkata: “Sebentar lagi kamu akan menemui kami. Sekarang, kamu masih berada pada tingkatan Ibnu Khuzaimah.■ habis/fir

*) Sumber: Buku Fawaidul Fawaid



BACA JUGA