Selasa, 22 September 2020 | 16:16 Wita

Bala Lebih Berat Dialami Nabi

Editor: Firman
Share

Kajian Kitab Thibun Nabawi (4)

HidayatullahMakassar.id — Abu Abdillah Muhammad Ibnu Abdil Wahid al Magdisi ra selanjutnya memaparkan akan perhebatan bala terhadap para nabi dan terhadap orang-orang saleh.

Setelah sebelumnya menjelaskan bala terhadap hamba, itu sebagai ketetapanNya yang terbaik.

Namun salah paham kebanyakan manusia menganggap Allah hinakan dirinya jika bala menimpanya, sebagaimana dalam surah al Fajr ayat 15-16.

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)

Orang yang berpaham seperti di ayat tersebut akan sulit menerima bahwa para nabi juga menerima bala bahkan paling hebat bala yang ditimpakan kepada mereka.

Syaikh penulis sengaja memaparkan bab pembahasan ini agar menghilangkan cara berpikir seperti itu.

Hadits shahih dari ummul mukminin Aisyah ra berkata “Saya tidak pernah melihat rasa sakit menimpa siapapun dengan kondisi lebih dahsyat darinya dibandingkan rasa sakit yang menimpa Rasulullah,”

Manusia paling dekat dengan Rasul itu memberi ilmu kondisi Rasul saat sakit yang dilihatnya.

Pernah ada hadits, Rasulullah mengaallami demam lebih panas dari demam orang kebanyakan sehingga tak bisa menempati tempat yang sama untuk berbaring, dan ketika dipegang oleh shahabatnya masih terasa panas di balik selimutnya.

Harus diyakini Allah terbaik keputusannya, menimpakan musibah kepada Rasulullah. Jika mempertanyakan kenapa ditimpakan musibah. Pertanyaan ini muncul karena menganggap musibah sebagai keburukan. Namun jika menganggap sebagai kebaikan maka akan disyukuri.

Jika telah diyakini bahwa musibah sebagai kebaikan dan memuliakan maka akan semakin siap menghadapi bala.

Kita punya teladan bagaimana menghadapi bala. Jika mengingat teladan maka akan meneladani cara bersikap terhadap bala.

Rasulullah saat disakiti orang kaum Quraish, beliau berucap “Rahmat Allah senantiasa kepada Nabi Musa. Beliau lebih banyak dan berat ujianya dari pada saya..”

Rasulullah Muhammad meneladani Musa dalam menyikapi ujian dan musibah yang menimpanya. Inilah ilmu keteladanan itu. Jika menyerupai kebaikan, ketegaran, kesabaran dalam menghadapi musibah maka kita tergolong dalam golangan yang sama dengan para nabi dan Rasul menghadapi dan menyikapi musibah.

Manfaat lain dari kita meneladani cara menyikapi musibah sebagaimana para nabi maka akan semakin mencintai para Nabi dan Rasul. Para nabi ditimpa masalah dan penderitaan karena urusan menyampaikan agama.

Imam Al Maqdisi membawakan sebuah hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya: Wahai Rasulullah, Siapakah manusia yang paling keras ujiannya? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة

“(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzy, Ibnu Majah, berkata Syeikh Al-Albany: Hasan Shahih)

Bahwa seorang akan tertimpa bala atas dasar kondisi agamanya. Jika keadaan agamanya kuat maka ditambah bala. Dan jika pada agamanya terdapat kelemahan maka diringankan baginya. 

Maka terus menerus bala itu akan menimpa setiap hamba. 

Pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqqash menunjukkan keluarbiasaan dalam ilmu. Sa’ad dalam kisahnua mengalami banyak ujian yang berat terutama jelang dan saat hijrahnya.

Ilmu ini membuat Sa’ad menjadi dekat dengan Nabi. Karena mengetahui jika mau dekat dengan para Nabi harus memahami apa yang dialami Nabi. Kemiripan yang dimaksud dalam memahami dan mengamalkan agama.

Berarti ada bala karena agama. Maka selama ada agama maka akan terus ada bala

Semakin hebat dan makin sering bala menimpa maka cepatlah gunakan pemahaman bahwa Allah menghendaki kemuliaan bagi kita. Bala akan menghantarkan kehebatan beragama.■ fir

*) Dari catatan kajian Kitab Thibun Nabawi karya Abu Abdillah Muhammad Ibnu Abdil Wahid al Magdisi oleh Al Ustadz Khaidir Muhammad Sunusi hafizhahullah Rumah Belajar Al-Kautsar Jl Paccarekkang Daya.



BACA JUGA