Selasa, 8 September 2020 | 07:42 Wita

Menyongsong Munas V Hidayatullah (1)

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Ust Akib Junaid Qahar

HidayatullahMakassar.id — Dalam perjalanan hidup Rasulullah selama 63 tahun, sangat banyak peristiwa penting yang terjadi, dan mengandung pelajaran yang luar biasa, guna memandu kita dalam mengarungi kehidupan, apa lagi bagi orang yang punya cita-cita yang sama, yakni menjalankan Islam secara kaffah (totalitas).

Pada tulisan kali ini, kami ingin fokuskan pembahasan pada peristiwa hijrahnya Nabi bersama Abu Bakar dari Makkah ke Madinah, tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengecilkan nilai atau substansi yang terkandung pada peristiwa lainnya, yang juga punya pengaruh sangat signifikan.

Namun, sepakatnya kaum muslimin yang dimulai pada 638 M, saat Umar bin Al Khattab menjadi khalifah, dimana peristiwa hijrah menjadi tonggak perhitungan tahun Islam, cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan, betapa pentingnya peristiwa hijrah dalam kehidupan Rasulullah, khususnya terkait dgn risalah yang beliau emban.

Bila ingin dimaknai secara ekstrim (semoga tidak disalah pahami), soal kesepakatan di atas, maka dapat dikatakan, cerita Islam pada masa Rasulullah, sesungguhnya “berawal” saat beliau hijrah, adapun perjalanan sebelum hijrah dengan segala perniknya, adalah merupakan rangkaian proses menuju Islam, yang tentu saja tidak dapat dipisahkan.

Kesimpulan pada alinea di atas, akan mengandung konsekwensi logis, bahwa setiap orang yang ingin diakui keislamannya, harus ditandai dengan hijrah terlebih dahulu, dalam pengertian, setiap orang yang belum berhijrah, maka otomatis belum layak mengklaim dirinya sebagai seorang muslim.

Urgensi hijrah dalam keislaman seseorang, makin terlihat sangat jelas, bila kita merujuk pada definisi hijrah sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi :

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Orang yg berhijrah, adalah orang yg meninggalkan segala hal yg dilarang oleh Allah. (HR. Abdullah bin Amr bin Aash)

Keharusan meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah, adalah konsekwensi yang tidak bisa dielakkan, bagi siapapun yang mengucapkan kalimat syahadat, yang mengakui Allah sebagai zat satu-satunya yang berhak disembah.

Konsekwensi syahadat, yang menuntut untuk berhijrah, dari satu sisi dapat dikomparasikan dengan mutlaknya KTP bagi setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai warga negara telah berusia 17 thn.

Keengganan untuk memiliki KTP, maka akan berkonsekwensi pada tidak sahnya pengakuan seseorang sebagai warga negara, dan otomatis haknya sebagai warga negara tidak akan bisa dia dapatkan.

Yang jadi persoalan kemudian, bagaimana cara berhijrah dalam konteks kekinian dan adakah tempat yang layak dijadikan sebagai “Daarul Hijrah”…? In Syaa Allah akan dibahas pada tulisan selanjutnya.■

*) Pengurus DPW Hidayatullah Jawa Barat



BACA JUGA