Kamis, 14 Mei 2020 | 16:46 Wita

Minimalisir Hidup Kontradiktif

Editor: Firman
Share

■ Ramadhan Mubarak: Supriadi Yosup Boni, Pimpinan Pesantren Al Furqan Landuri Luwu Timur

HidayatullahMakassar.id — Ibnu Qayyim al Jauziyah mengatakan, saya heran melihat kehidupan manusia yang tampak kontradiktif, terutama pada lima point berikut ini.

Pertama, saya heran, manusia mengatakan, kami yakin Allah ta’ala adalah pencipta kami, pemberi rezeki ke kami, satu-satunya yang wajib ditaati, disembah dan tempat minta pertolongan dan perlindungan.

Namun kenyataannya, banyak manusia lebih suka menghambakan diri kepada selain Allah, mereka lebih takut dan lebih tunduk kepada sesama manusia ketimbang takut dan tunduk kepada Allah. Sengaja atau tidak, mereka sering lupa atau pura-pura lupakan Allah ta’ala saat menjalani aktivitas keseharian mereka.

Apakah itu ketika mereka berada di kantor, di pasar atau di tempat- tempat aktivitas lainnya. Dan makin tampak Allah ta’ala dilupakan saat kepentingan duniawi mereka berbenturan dengan aturan dan syariat Allah ta’ala. Seolah syariat Allah sebatas dokumen tertulis yang cukup untuk dihafal atau dipajang.

Kedua, saya heran, ketika kaum muslimin ditanya kitab sucinya apa? Mereka dengan sangat yakin dan semangat menjawab, alqur’an adalah kitab suci kami, panduan hidup kami. Mereka bahkan fasih menjelaskan kalau patuhi Alquran dijamin bahagia di dunia dan selamat di akhirat.

Tapi, realitas kehidupan sebagian mereka menunjukkan hal berbeda. Jangankan mengejewantahkan nilai dan spirit, Patuhi perintah dan larangannya dalam kehidupan keseharian, menyentuhnya saja mungkin hanya di bulan ramadhan, dan kalau toh membaca Alquran, mereka masih terbata-bata. Bahkan ada yang sampai tidak bisa baca Alquran sampai mereka dikuburkan.

Di antara mereka yang sudah semangat membaca Alquran, namun masih ada sebagian menganggap, aturan dan syariat yang termaktub dalam Alquran hanya terkait dengan ritual semata. Kehidupan sosial, budaya, ilmu pengetahuan, pendidikan, ekonomi, politik, negara dan pemerintahan serta persolan lainnya seakan-akan tidak disentuh Alquran. Maka pantas tidak sinkron antara pengakuan Alquran sebagai kitab suci dengan realitas kehidupan keseharian.

Ketiga, saya heran melihat menusia, mereka tahu kalau setan dan gengnya itu kerjaannya suka menggoda berbuat salah dan dosa. Mereka juga paham betul kalau ajakannya berujung siksa neraka.

Kenyataannya, masih banyak diantara kaum muslimin yang rela dan nyaman bahkan dengan suka rela menyerahkan jiwa dan raganya dikendalikan setan dan bala tentaranya. Bukan hanya itu, bahkan diantara mereka yang bangga berkoalisi dengan setan.

Yang lebih memprihatinkan, tak jarang kita jumpai di antara mereka yang marah ketika dinasihati dan diajak sadar diri, taubat dan kembali meniti syariat Allah ta’ala. Bukannya berhenti berbuat salah dan dosa, malahan ada yang sampai membenci kebenaran dan syariat Allah ta’ala.

Keempat, saya heran melihat manusia, mereka katanya yakin kalau neraka itu isinya hanya siksa pedih dan penuh kesengsaraan. Mereka yang masuk ke dalamnya tidak akan pernah istirahat menjalani siksa yang kepedihannya tidak bisa digambarkan. Dan karenanya, mereka takut dimasukkan ke neraka.

Sayangnya, ucapan dan tindakan sebagian mereka masih banyak yang bisa membawa mereka ke neraka yang mereka takuti itu. Hawa nafsu sebagai juru dakwah neraka masih sering diperturutkan. Syariat Allah ta’ala dengan entengnya masih sering mereka abaikan, langgar bahkan di”leceh”kan.

Kelima, saya heran melihat manusia, katanya mereka mau masuk syurga. Bahkan di surga tertinggi. Mereka tahu syurga dipenuhi kenikmatan, kebahagiaan dan kesenangan. Semua yang diinginkan dapat diperoleh saat itu juga tanpa harus keluarkan energi. Sesaat pun, tak pernah dirasakan kepedihan, kesedihan dan kesesangsaraan di sana.

Lagi-lagi, kehidupan keseharian mereka tidak menggambarkan kesungguhan dan keinginan kuat untuk masuk syurga. Ibadah yang menjadi kunci syurga ditunaikan semaunya dan seadanya, gerakan dan bacaannya asal-asalan, spiritnya hanya sekedar gugurkan kewajiban. Nilai dan spirit ibadahnya nihil kalau bukan nol.

Menghadiri majelis ilmu dan majlis dzikir sangat-sangat jarang bahkan serasa alergi, menggibah dan menonton tayangan ghibah hampir tiap hari tiada henti, waktu dihabiskan untuk pekerjaan yang tak bermanfaat bahkan cenderung merugikan dan lain sebagainya.

Ramadhan mengajarkan kejujuran, kesesuaian antara ucapan, keyakinan dan realitas keseharian. Larangan makan, minum di siang hari harus sesuai antara keyakinan, ucapan dan realitas. Kapan dialam realitas, seseorang tetap makan dan minum di siang hari maka sekuat apapun keyakinannya dan sekeras apapun ucapannya bahwa ia berpuasa maka itu tidak ada artinya sama sekali, ia tetap dianggap tidak berpuasa.

Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Wahai orang-orang beriman, berislam lah kalian secara totalitas dan jangan kalian ikuti seruan setan. Sungguh mereka itu adalah musuh bebuyutan nyata bagi kalian.” (QS: al-Baqarah: 208).

Wallahu a’lam.■



BACA JUGA